Friday 14 June 2013

FIQH PUASA RAMADHAN

I. Hal-Hal Yang Perlu Diketahui Tentang Ramadhan

Sebelum menjalankan ibadah Ramadhan, ada beberapa hal yang perlu dipahami. Di antaranya:

Puasa Ramadhan adalah rukun Islam yang keempat. Hukumnya adalah fardhu (wajib) yang datang langsung dari Tuhan Pencipta, Allah Ta’ala.
Allah mensyari’atkan puasa dan berbagai ibadah Ramadhan sebagai salah satu program yang harus dilewati setiap Muslim dan Mukmin dalam pembentukan karakter taqwa meraka. (QS. Al-Baqarah : 183).
Ancaman keras bagi orang-orang beriman yang tidak melaksanakan ibadah Ramadhan, khususnya ibadah puasa seperti yang dijelaskan Rasul saw:
Ikatan dan basis agama islam itu ada tiga. Siapa yang meninggalkan salah satu darinya, maka ia telah kafir, halal darahnya: Syahadat Laa ilaaha illallah, sholat fardhu (5X sehari) dan puasa Ramadhan. (HR. Abu Ya’la dan Dailami).
Dalam hadits lain Rasul saw. bersabda :
Siapa berbuka satu hari dalam bulan Ramadhan tanpa ada ruhkshah (faktor vang membolehkan berbuka / dispensasi) dari Allah, maka tidak akan tergantikan kendati ia melaksanakan puasa sepanjang masa. (H.R. Abu Daud, Ibnu Majad dan Turmuzi).
Ramadhan memiliki aturan main yang perlu ditaati, agar proses dan pelaksanaan ibadahnya, khususnya puasa Ramadhan dapat berjalan dengan baik dan maksimal.

II. Hukum Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan hukumnya wajib atas setiap Muslim dan Muslimah yang sehat akalnya (tidak gila) dan telah mukallaf (umur remaja), tidak dalam keadaan musafir dan sakit. Khusus bagi wanita, tidak dalam keadaan haidh dan nitas.

Tentang wajibnya puasa, Allah menjelaskannya dalam surat Al-Baqarah : 183, “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu sekalian puasa itu (shaum Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang hertaqwa“.

Dalam sebuah hadits dijelaskan, Rasul saw bersabda : “Sesungguhnya Islam itu dibangun di atas lima (dasar). Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa Ramadhan dan menunaikan haji.” (HR. Muslim)

Oleh sebab itu, Rasulullah saw mewanti-wanti umatnya agar sekali-kali jangan meninggalkan puasa Ramadhan tanpa alasan yang dibolehkan. Dalam salah satu haditsnya, Rasul saw bersabda : “Ikatan dan kaedah agama Islam itu ada tiga. Diatasnya dibangun Islam. Siapa meninggalkan salah satu darinya maka ia kafir, halal darahnya (karena sudah dihukumkan kepada orang murtad), syahadat La ilaalia illallah, sholat yang difardhukan dan puasa Ramadhan“. (HR Abu Ya’la dan Dailami)

III. Rukun Puasa

Setiap ibadah dalam Islam ada rukunnya agar ibadah itu bisa tegak dan berjalan dengan benar. Demikian juga dengan puasa Ramadhan. Rukunnya ada dua :

1. Niat.
Niat adalah faktor pertama yang akan menentukan sah atau tidaknya ibadah seseorang. Setiap amal ibadah, baik wajib maupun yang sunnah akan bernilai di mata Allah jika didasari dengan niat. Niatnya harus hanya karena Allah, tidak melenceng sedikitpun. Kemudian itu letaknya dalam hati, bukan dilafalkan (diucapkan dengan lisan), termasuk niat puasa Ramadhan harus dilakukan dalam hati. Waktunya sebelum terbit fajar.

2. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai mata hari tenggelam. (QS. Al-Baqarah : 187).

IV. Hal-Hal Yang membatalkan Puasa

Semua ibadah dalam Islam memerlukan syarat dan rukun agar ibadah tersebut sah dan bernilai di sisi Allah. Amal ibadah yang sudah sesuai syarat dan rukun tersebut bisa batal jika melanggar aturan atau terjadi hal-hal yang membatalkannya. Adapun yang membatalkan puasa terbagi dua. Pertama, hal-hal yang membatalkan puasa dan wajib diqadha (diganti di hari-hari setelah Ramadhan). Kedua, adalah yang membatalkan puasa dan wajib qadha dan kafarat (denda).

Adapun yang membatalkan puasa dan wajib qadha saja ialah:

1. Makan dan minum dengan sengaja. Rasul saw bersabda : Siapa yang berbuka (makan dan minum) di siang hari bulan Ramadhan karena lupa maka tidak perlu diqadha (diganti pada hari di luar Ramadhan), dan tidak pula kaferat (denda). (HR. Daru Quthni, Baihaqi dan Hakim).

2. Muntah dengan sengaja. Rasul saw berkata: Siapa yang terpaksa muntah maka tidak wajib baginya mengqadha (puasanya). Namun siapa muntak dengan sengaja, maka hendaklah ia mengqadha (puasanya). (HR. Ahmad, Abu Daud dan Titmizi)

3. Haidh/menstruasi dan nifas (melahirkan), kendati terjadi sesaat sebelum berbuka. Ini yang disepakati oleh jumhur Ulama.

4. Mengeluarkan sperma dengan sengaja baik dengan cara onani/masturbasi ataupun dengan pasangan/istri.

5. Memakan apa saja yang tidak lazim di makan, seperti plastik dan sebagainya.

6. Yang berniat membatalkan puasanya di siang hari. Dengan demikian dia sudah batal puasanya kendati dia tidak makan atau minum.

7. Jika dia makan, minum atau bercampur suami istri menduga waktu berbuka sudah masuk. Ternyata belum masuk. Dia wajib mengqadhanya.
Adapun yang membatalkan puasa dan harus diqadha dan kafarat menurut jumhur Ulama adalah berhubungan suami istri dengan sengaja. Tidak ada perbedaan antara suami dan istri, keduanya harus menjalankannya. Adapun kafarat bagi yang berhubungan suami istri ialah memerdekakan budak. Jika tidak sanggup, puasa 2 bulan berturut-turut. Jika tidak mampu memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang, seperti yang dijelaskan dalam salah satu hadits Rasul saw. yang diriwayatkan imam Bukhari.

V. Adab Melaksanakan Puasa

Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka puasa juga ada adabnya. Di antaranya :

1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul saw: Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebih dianjurkan.

2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah mengetahui waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul saw: “Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka“. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan puasa. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata: “Sesungguhnya bagi orang yang sedang puasa saat berbuka doanya tidak ditolak“. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : “Ada tiga doa yang tidak akan ditolak Allah; orang yang puasa sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan orang yang terzalimi (teraniaya)“. (HR. Tirmizi).

4. Menahan diri dari hai-hal yang bertentangan dengan puasa (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena puasa adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya puasa hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam puasa.

5. Bersiwak dengan kayu siwak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.

6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Adalah Rasul saw orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul saw dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang“. (HR. Bukhari)

7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi saw apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)

VI. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?

Kendati puasa itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut:

1. Orang-orang yang sudah tua renta.

2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.

3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka puasa mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksanakan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka puasa lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak puasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi. mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka puasa itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka, maka mereka dapat dispensasi tidak puasa, tapi mereka harus mengqadhanya serta membayar fidyah. Namun, jika puasa itu hanya berimplikasi negatif terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadhanya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negatif tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.

VII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya dihari lain)?

Adapun golongan yang mendapat dispensasi puasa akan tetapi mereka harus membayar / mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan puasa dan juga yang sedang musafir/ perjalanan. Dalam sebuah hadits dijelaskan: “Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘atihu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang puasa dan ada yang berbuka. Bagi yang puasa tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang puasa. Kemudian hagi yang melihat dirinya kuat menjalankan puasa dia lakukan dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya“. (HR. Ahmad dan Muslim)

VIII. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?

Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait puasa Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. “Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul saw diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat“. (HR. Bukhari dan Muslim)

No comments:

Post a Comment