Tuesday 14 April 2015

KEADAAN HATI MANUSIA (1)


HATI YANG SEHAT

Hati yang sehat yaitu hati yang bersih yang seorang pun tak akan bisa selamat pada Hari Kiamat kecuali jika dia datang kepada Allah dengannya, sebagaimana firman Allah,

"(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'ara': 88-89).

Disebut qalbun salim (hati yang bersih, sehat) karena sifat bersih dan sehat telah menyatu dengan hatinya, sebagaimana kata Al-Alim, Al-Qadir (Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa). Di samping, ia juga merupakan lawan dari sakit dan aib.

Orang-orang berbeda pendapat tentang makna qalbun salim. Sedang yang merangkum berbagai pendapat itu ialah yang mengatakan qalbun salim yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan berita-Nya. Ia selamat dari melakukan penghambaan kepada selain-Nya, selamat dari pemutusan hukum oleh selain Rasul-Nya, bersih dalam mencintai Allah dan dalam ber-hukum kepada Rasul-Nya, bersih dalam ketakutan dan berpengharap-an pada-Nya, dalam bertawakal kepada-Nya, dalam kembali kepada-Nya, dalam menghinakan diri di hadapan-Nya, dalam mengutamakan mencari ridha-Nya di segala keadaan dan dalam menjauhi dari kemungkaran karena apa pun. Dan inilah hakikat penghambaan (ubudiyah) yang tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata.

Jadi, qalbun salim adalah hati yang selamat dari menjadikan sekutu untuk Allah dengan alasan apa pun. la hanya mengikhlaskan penghambaan dan ibadah kepada Allah semata, baik dalam kehendak, cinta, tawakal, inabah (kembali), merendahkan diri, khasyyah (takut), raja'(pengharapan), dan ia mengikhlaskan amalnya untuk Allah semata. Jika ia men-cintai maka ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci maka ia membenci karena Allah. Jika ia memberi maka ia memberi karena Allah. Jika ia menolak maka ia menolak karena Allah. Dan ini tidak cukup kecuali ia harus selamat dari ketundukan serta berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia harus mengikat hatinya kuat-kuat dengan beliau untuk mengikuti dan tunduk dengannya semata, tidak kepada ucapan atau perbuatan siapa pun juga; baik itu ucapan hati, yang berupa kepercayaan; ucapan lisan, yaitu berita tentang apa yang ada di dalam hati; perbuatan hati, yaitu keinginan, cinta dan kebencian serta hal lain yang berkaitan dengannya; perbuatan anggota badan, sehingga dialah yang menjadi hakim bagi dirinya dalam segala hal, dalam masalah besar maupun yang sepele. Dia adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sehingga tidak mendahuluinya, baik dalam kepercayaan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya."
(Al-Hujurat: 1).

Artinya, janganlah engkau berkata sebelum ia mengatakannya, janganlah berbuat sebelum dia memerintahkannya. Sebagian orang salaf berkata, "Tidaklah suatu perbuatan -betapa pun kecilnya- kecuali akan dihadapkan pada dua pertanyaan: Kenapa dan bagaimana?" Maksudnya, mengapa engkau melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Soal pertama menanyakan tentang sebab perbuatan, motivasi atau yang mendorongnya; apakah ia bertujuan jangka pendek untuk kepentingan pelakunya, bertujuan duniawi semata untuk mendapatkan pujian orang atau takut celaan mereka, agar dicintai atau tidak dibenci ataukah motivasi perbuatan tersebut untuk melakukan hak ubudiyah (penghambaan), mencari kecintaan dan kedekatan kepada Tuhan Subhanahu wa Ta'ala dan mendapatkan wasilah (kedekatan) dengan-Nya.

Inti pertanyaan yang pertama adalah apakah kamu melaksanakan perbuatan itu untuk Tuhanmu atau engkau melaksanakannya untuk kepentingan dan hawa nafsumu sendiri? Sedang pertanyaan yang kedua merupakan pertanyaan tentang mutaba'ah (mengikuti) Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam soal ibadah tersebut. Dengan kata lain, apakah perbuatan itu termasuk yang disyariatkan kepadamu melalui lisan Rasul-Ku atau ia merupakan amalan yang tidak Aku syariatkan dan tidak Aku ridhai? Yang pertama merupakan pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua pertanyaan tentang mutaba'ah kepada Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan pun kecuali dengan syarat keduanya.

Jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan dan jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan kedua yaitu dengan merealisasikan mutaba'ah, selamatnya hati dari keinginan yang menentang ikhlas dan hawa nafsu yang menentang mutaba'ah. Inilah hakikat keselamatan hati yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan.

Wednesday 1 April 2015

IKHWANUL MUSLIMIN DIBAWAH NAUNGAN AL-QUR'AN


Kepada para pemuda
Yang merinduk lahirnya kejayaan …
Kepada umat yang tengah
Kebingungan di persimpangna jalan…
Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya,
Yang telah menggoreskan catatan membanggakan
Di lembar sejarah umat manusia…
Kepada setiap muslim
Yang yakin akan masa depan dirinya
Sebagai pemimpin dunia dan peraih kebahagiaan
Di kampung akhirat…
Kepada mereka semua kami persembahkan risalah ini.

RISALAH IMAM SYAHID HASAN AL-BANNA

Adalah sebuah risalah masa lalu yang penuh kobaran semangat jihad, 
untuk generasi hari ini yang tengah bergejolak dan dilanda kegelisahan…
Sebuah bekal hari ini yang sarat tuntutan,
Untuk masa depan yang penuh cahaya…
Wahai para pemuda,
Wahai mereka yang memiliki cita-cita luhur
Untuk membangun kehidupan…
Wahai kalian yang rindu akan kemenangan agama Allah…
Wahai semua yang turun ke medan,
Demi mempersembahkan nyawa di hadapan Tuhannya…
Disinilah petunjuk itu, di sinilah bimbingan...
Di sinilah hikmah itu, disinilah kebenaran…
Di sini kalian dapati keharuman pengorbanan
Dan kenikmatan jihad…
Bersegeralah bergabung dengan parede bisu…
Untuk bekerja di bawah panji penghulu para nabi…
Untuk menyatu dengan pasukan Ikhwanul Muslimin…
"Sehingga tidak ada lagi fitnah di muka bumi dan agama
seluruhnya milik Allah."