Wednesday 3 August 2016

SHALAT BERJAMA'AH

Shalat merupakan bentuk ibadah yang memiliki kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang dapat menumbuhkan dalam diri manusia kemampuan untuk mencapai puncak penghambaan kepada Allah, dan yang dapat memberikan kekuatan kepada manusia untuk mengerjakan semua kewajiban yang dibebankan kepadanya. shalat itu sendiri sudah merupakan kewajiban yang cukup efektif, tetapi dengan diperintahkanNya agar dikerjakan secara berjama'ah, maka kekuatan shalat tersebut menjadi dua kali lipat dan menimbulkan dinamika yang tidak ada tandingannya dalam menciptakan perubahan yang sehat dalam diri manusia.

SIFAT-SIFAT YANG DIHASILKAN OLEH SHALAT

Saudara-saudaraku bahwa ibadah yang sebenarnya adalah menganggap diri sendiri sebagai hamba Allah untuk selamanya. Hidup dengan menyerahkan diri kepada kehendak Allah sebagaimana layaknya seorang pelayan yang patuh, dan setiap saat siap untuk melaksanakan perintah-perintahNya. Dan shalat telah mempersiapkan manusia untuk melaksanakan ibadah yang seperti itu. Kesadaran akan kedudukan diri sebagai hamba Allah, kepercayaan kepadaNya, kepada UtusanNya, kepada KitabNya, kepada hari akhir, rasa takut kepada Allah, pengakuan bahwa Allah Maha Tahu akan
hal-hal yang ghaib dan kesadaran bahwa Dia selalu dekat dengan kita, kesiap-sediaan untuk setiap saat patuh kepadaNya dan kesadaran akan perintahNya, ini semua dan juga sifat-sifat yang lain yang diperlukan untuk menjadikan manusia sebagai hamba Allah dalam arti yang sebenarnya dikembangkan oleh shalat.

PENGHAMBAAN SEPENUHNYA TIDAK MUNGKIN DILAKSANAKAN DENGAN SENDIRIAN SAJA

Bila kita fikirkan dengan teliti, maka kita akan menyadari bahwa bagaimanapun sempurnanya seseorang, ia tidak akan dapat memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk menjadi seorang hamba Allah yang baik, kecuali apabila hamba-hamba Allah yang lain ikut membantunya. Seseorang tidak akan boleh melaksanakan semua perintah Allah, kecuali bila semua orang, dengan siapa ia harus berurusan setiap waktu, bekerjasama dengannya dalam melaksanakan perintah-perintah tersebut.

Seseorang tidak boleh hidup sendirian di dunia ini, tidak pula ia dapat melakukan suatu pekerjaan sendirian saja. Seluruh hidupnya terikat oleh seribu-satu macam hubungan: dengan sanak keluarganya, dengan teman-teman dan sahabat-sahabatnya, tetangganya, orang-orang yang mempunyai hubungan kerja dengannya, dan orang-orang lain yang tidak terhitung banyaknya. Juga, perintah-perintah Allah tidaklah terbatas pada seorang saja, Tetapi adalah dimaksudkan untuk meluruskan hubungan sosial kemanusiaan itu.

Nah apabila orang-orang itu semua bekerja-sama dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan saling tolong-menolong, maka mereka semua akan bisa menjadi hamba-hamba Allah yang baik. Tetapi apabila mereka semua tidak patuh kepada Allah, atau apabila hubungan mereka satu sama lain adalah sedemikian rupa, sehingga mereka tidak bisa saling membantu dalam melaksanakan perintah-perintahNya, maka tidaklah mungkin bagi seseorang, secara sendirian saja, untuk bartindak dan berbuat seluruhnya menurut hukum Allah dalam kehidupannya.

BERPERANG DENGAN SYAITAN TIDAK MUNGKIN BISA SENDIRIAN SAJA

Kemudian, baca al-Qur'an dengan teliti, pasti kita akan mengetahui bahwa Allah tidaklah memerintahkan agar kita sendiri saja yang menjadi budak dan hamba yang patuh dan pasrah kepadaNya. Tetapi, Allah memerintahkan kita supaya mengusahakan agar seluruh manusia di dunia ini patuh dan pasrah kepadaNya dengan melaksanakan hukum-hukumNya dan memberantas hukum-hukum syaitan di mana pun juga, dan menggantikannya dengan hukum-hukum Allah. Tugas yang berat ini tidak mungkin boleh dilaksanakan hanya oleh seorang saja. Hal ini tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh berjuta orang Islam bila mereka bekerja sendirian saja, karena mereka tidak akan
bisa mengalahkan kekuatan syaitan yang bersatu-padu dan tersusun dengan baik. Karena itu, perlulah bagi seluruh ummat Islam di dunia ini untuk bersatu-padu membentuk satu kumpulan yang kukuh, berjuang bersama-sama untuk mencapai satu tujuan yang tunggal.

MEMBIASAKAN SIKAP BERDISIPLIN DAN TERATUR

Selanjutnya, bila kita fikirkan dengan saksama, maka akan jelaslah bahwa untuk mencapai tujuan yang besar seperti itu, perlulah persatuan itu dibentuk menurut garis-garis yang tepat. Artinya, ummat Islam haruslah disusun sehingga hubungan mereka satu sama lain berada dalam ketepatan dan kemestian yang seharusnya. Tidak boleh ada sesuatu yang salah dalam hubungan timbal balik mereka. Mereka harus mempunyai tujuan yang tunggal. Mereka harus patuh pada satu pimpinan. Mereka harus menjadikan suatu kebiasaan untuk bergerak menjadi komando pimpinan tersebut. Dan mereka juga harus mengerti sampai sejauh mana mereka harus taat kepada pimpinan mereka, dan bila
mereka tidak boleh patuh kepadanya.

MANFAAT SOLAT BERJEMA’AH

Dengan mengingati hal-hal di atas kita boleh melihat bagaimana solat berjama’ah bisa menciptakan semua keadaan tersebut.

BERKUMPUL DALAM SATU PANGGILAN

Apabila kita mendengar panggilan adzan, kita diwajibkan untuk meninggalkan pekerjaan kita dan pergi ke masjid. Orang-orang Muslim yang datang dari segenap penjuru, karena mendengar panggilan adzan ini, dan kemudian mereka berkumpul pada satu tempat, dalam diri mereka tercipta perasaan yang sama, seperti halnya kesatuan tentara. Perajurit-perajurit yang mendengar suara trompet mengerti bahwa komandan mereka memanggil mereka. Panggilan ini menimbulkan satu perasaan yang sama dalam diri mereka, yakni perasaan patuh pada komkitan, dan sebagai jawaban terhadap panggilan ini, mereka melakukan suatu perbutan yang serupa, yiaitu datang ke tempat
yang telah ditentukan.

Mengapa cara seperti ini dipakai dalam ketentaraan? Ini adalah karena dalam diri setiap perajurit haruslah ditanamkan kebiasaan dan sifat patuh pada perintah: mula-mula secara sendiri-sendiri, lalu bersama-sama dalam satu kelompok mereka berkumpul di satu tempat dan di waktu yang sama, agar diwaktu perang seluruh tentera boleh berkumpul dengan satu panggilan saja dan bekerja-sama untuk mencapai satu tujuan. Tidak boleh terjadi bahwa para perajurit tidak datang berkumpul untuk melaksanakan tugas perang atau pergi sendiri-sendiri sesuka hati. Apabila suatu kesatuan tentera berada dalam keadaan tidak berdisiplin seperti ini, maka meskipun jumlah mereka beribu-ribu, mereka akan boleh dikalahkan hanya oleh beberapa puluh tentera musuh saja, dengan cara menumpas mereka seorang demi seorang. Prinsip persatuan yang kukuh seperti inilah yang menjadi dasar peraturan bahwa semua orang Islam harus meninggalkan pekerjaan mereka dan pergi ke masjid setelah mereka mendengar panggilan adzan, agar dengan demikian seluruh kaum Muslimin dapat bersatu-padu menjadi tentara Allah. Mereka dilatih untuk berkumpul lima kali sehari, karena tugas tentara Allah adalah lebih berat dari tentara dunia. Bagi tentara dunia, perang terjadi dengan selang waktu yang sangat lama, dan karena itu mereka melakukan latihan-latihan ketentaraan dengan berselang-selang pula. Tetapi tentara Allah harus berperang melawan kekuatan iblis terus-menerus
dan harus melaksanakan perintah-perintah komkitan mereka tanpa mengenal cuti atau hiburan. Adalah suatu keringanan yang sangat besar bahwa hanya lima kali sehari mereka diperintahkan untuk cepat-cepat berkumpul ketika trompet Ilahi dibunyikan di tempat berkumpulnya tentara Allah, yakni masjid.

BERKUMPUL DENGAN TUJUAN

Yang tersebut di atas tadi hanyalah manfaat dari adzan saja. Selanjutnya dari itu semua, kita berkumpul di masjid, dan berkumpul itu sendiri mendatangkan manfaat yang tidak terhitung banyaknya. Kita saling bertemu dengan sesama Muslim, menjadi saling tahu dan mengenal satu sama lain. Dengan beginilah kita semua menjadi hamba dan budak-budak Allah, pengikut-pengikut dari satu Nabi, dan satu kitab, dan kita semua hanya mempunyai satu tujuan saja. Kita semua berkumpul di masjid hanya untuk mencapai tujuan itu saja, yang harus kita penuhi, bahkan setelah kita kembali dari Masjid. Ikatan dan saling mengenal seperti ini automatik akan menciptakan dalam diri kita semua perasaan bahwa kita semua merupakan satu komuniti, merupakan perajurit-perajurit dari satu kesatuan tentara, orang-orang yang bersaudara satu sama lain, mempunyai kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan yang sama, sama mendapatkan keuntungan dan memikul kerugian, dan hidup kita semua saling terintegrasi satu dengan yang lain.

SALING IKUT MERASA

Selanjutnya, ketika kita saling bertatap muka satu sama lain, maka kita semua satu sama lain tidak akan merasa menjadi musuh, melainkan sebagai saudara. Dengan demikian, kalau kita melihat seorang dari saudara-saudara kita berpakaian compang-camping, yang lain berwajah sedih, yang lain tampak sangat lapar, dan yang lain cacat, lumpuh atau buta, maka tidak syak lagi rasa simpati kita kepada mereka akan wujud. Orang-orang yang kaya di antara kita akan merasa kasihan kepada saudara-saudaranya yang miskin dan papa. Orang-orang yang terkena musibah akan memperoleh keberanian untuk mendekati saudara-saudaranya yang kaya dan mengadukan kesusahan mereka.

Apabila diketahui bahwa seorang saudara tidak boleh datang ke masjid karena sakit atau kecelakaan, maka tentu akan ada yang bemiat menziarah dan menanyakan halnya. Apabila ada berita tentang kematian salah seorang saudara, seluruh jemaah akan bersama-sama melaksanakan solat jenazahnya dan ikut bersedih bersama keluarga yang ditinggal si mati. Semua ini akan mendorong rasa kasih-mengasihi dan hasrat untuk tolong-menolong satu sama lain.

BERKUMPUL DENGAN TUJUAN YANG SUCI

Selanjutnya, perhatikanlah bahwa orang-orang yang datang ke masjid itu berkumpul untuk satu tujuan yang suci. Kumpulan ini bukanlah kumpulan para pencuri, pemabuk dan penjudi-penjudi yang hatinya penuh dengan niat-niat yang kotor dan tidak keruan. Ini adalah kumpulan hamba-hamba Allah yang berniat menyembah Allah di rumah Allah. Dalam suasana seperti ini, seorang yang jujur, merasa akan dosa-dosa yang ada dalam jiwanya. Dan seandainya ia telah melakukan suatu dosa di hadapan salah seorang yang ikut hadir di masjid, maka pertemuannya dengan orang itu akan membuatnya betul-betul bertaobat. Dan seandainya di antara jema’ah Muslimin itu ada niat untuk saling memberi nasehat, dan bila mereka tahu bagaimana caranya meningkatkan keadaan satu sama lain melalui simpati dan kasih-sayang, tidak syak lagi perkumpulan ini akan menjadi sumber rahmat dan anugerah Tuhan. Dengan cara demikian semua orang Islam bersama-sama akan boleh saling menghilangkan kekurangan dan kelemahan masing-masing, dan seluruh masyarakat sedikit demi sedikit akan menjadi masyarakat yang saleh dan taqwa.

PERSAUDARAAN

Manfaat-manfaat yang tersebut di atas, hanyalah manfaat yang timbul dari berkumpulnya kaum Muslimin di masjid saja. Selanjutnya masih banyak manfaat yang terkandung dalam pelaksanaan solat berjamaah. Kita berdiri dengan berbaris rapat bahu membahu dengan semua orang Islam yang lain. Tidak seorang pun yang dianggap lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya daripada yang lain. Dalam majlis, di hadapan Allah, seluruh manusia sama kelasnya. Tidak seorang pun yang tercemar bila tersentuh oleh sesama saudara Muslimnya, Semua orang adalah suci karena semuanya adalah manusia. Semuanya adalah hamba Tuhan dan sama-sama pengikut satu din saja. Di luar solat,
kaum Muslimin tennasuk dalam keluarga-keluarga, suku-suku dan bangsa-bangsa yang berbeda-beda. Seseorang adalah Sayyid, yang lain adalah Pathan, lainnya lagi Rajput atau Jat. Yang seorang adalah warga negara dari suatu negeri, dan yang lain warga dari negeri yang lainnya. Sebagian Muslimin berbicara dengan suatu bahasa, sebagian yang lain dengan bahasa yang lain. Tetapi semuanya berdiri dalam satu barisan, menyembah Allah. Ini menunjukkan bahwa mereka semua adalah satu bangsa. Perkumpulan dalam keluarga-keluarga dan keturunan, .suku-suku dan bangsa-bangsa, adalah perkumpulan yang palsu. Hubungan kita yang sejati dan yang paling erat adalah bahwa kita sama-
sama menjadi hamba Allah dan sama-sama beribadat kepadaNya. Apabila kita semua telah menjadi satu dalam hal ini, mengapa kita harus terpisah-pisah dalam hal yang lain?

KESERAGAMAN GERAKAN

Selanjutnya, bila kita berbaris bahu membahu antara yang satu dengan yang lain, maka kita semua telah membentuk satu barisan tentara yang siap melaksanakan perintah dari komandannya. Dengan berdiri dalam satu barisan dan melakukan gerakan-gerakan secara serentak, maka perasaan perlunya bersatu akan tertanam dalam fikiran kita semua. Kita diperintahkan untuk melakukan latihan ini, untuk menjadi satu dalam mengabdi kepada Allah dengan cara sedemikian rupa, sehingga kita semua bergerak secara serentak: serentak mengangkat tangan dan serentak menggerakkan kaki, seolah-olah kita semua bukan sepuluh, seratus, atau seribu orang, Tetapi telah menjadi satu tubuh.

DOA

Apa yang kita lakukan setelah kita berdiri dalam satu barisan itu? Dengan satu suara kita bersumpah, berdoa dan memuji Junjungan kita:

lyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in
"Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan".

Ihdinash-shirathol mustaqim
"Tunjukilah kami jalan yang lurus".

Rabbana lakal hamdu
"Wahai Tuhan!, segala puji hanyalah bagi Engkau".

Assalamu 'alaina wa 'ala 'ibadUlahish shalihin
"Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kita dan kepada
semua hamba Allah yang saleh".

Dan setelah solat selesai, kita saling mendoakan dan meminta rahmat untuk satu sama
lain:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ini berarti bahwa kita semua adalah orang yang selalu saling mendoakan kebaikan satu sama lain. Semuanya sama-sama memohon kepada satu junjungan demi kesejahteraan semua. Tidak seorang pun dari kita yang sendirian dan terpisah. Tidak seorang pun dari kita memohon sesuatu hanya untuk dirinya sendiri. Setiap orang berdoa agar Allah melimpahkan rahmatNya kepada seluruh jama’ah, agar semuanya diberi kekuatan untuk berjalan hanya di jalan yang benar, dan agar semuanya sama-sama merasakan rahmat Allah. Dengan jalan demikian solat akan mempersatukan hati kita semua, menciptakan keserasian dalam fikiran-fikiran kita, dan mengembangkan hubungan baik dan saling
mendoakan satu sama lain.

Tuesday 26 April 2016

SHOLAT DAN PEMBINAAN MENTAL

Saudara-saudara sesama muslim,

Bayangkanlah seorang yang mendengar suara adzan lima kali sehari dan merasakan bahwa sesuatu yang besar sedang dipersaksikan, dan bahwa kita semua diseru untuk menghadap Maharaja yang sangat perkasa dan berkuasa. Seorang yang setiap kali mendengar seruan ini meninggalkan semua pekerjaannya dan berlari menghadap Wujud yang Maha Agung tersebut, yang dipandangnya sebagai Junjungannya serta Junjungan seluruh alam semesta ini. Seorang yang setiap kali mau mengerjakan solat mensucikan tubuh dan jiwanya dengan wudhu' dan mengerjakan perbuatan-perbuatan dalam solat dan membaca bacaan-bacaannya dengan penuh pengartian. Bagaimana mungkin rasa takut kepada Allah tidak akan timbul dalam hatinya, bagaimana ia tidak merasa malu melanggar perintah-perintah Allah? Bagaimana mungkin jiwanya tidak akan gementar setiap kali menghadap Allah, mengingat dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya? Bagaimana mungkin seorang yang mengatakan patuh dan menghamba kepada Allah, dan percaya bahwa Dia adalah penguasa hari pengadilan, dalam mengerjakan urusan dunianya ia berdusta,berlaku tidak jujur, merampas hak orang lain, menyuap dan menerima suap, memberi dan mengambil riba, merugikan dan menyakitkan
hati sesama manusia, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dan bertentangan dengan hukum, sedang ia masih pergi menghadap Tuhan berulang-ulang, dengan membawa semua dosa-dosa ini dan tidak malu mengulang-ulangi pengakuannya bahwa ia adalah hambaNya yang setia dan patuh? Duhai, bagaimana mungkin bahwa setelah mengucapkan pernyataan "hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan", tiga puluh enam kali di hadapan Allah dengan penuh kesadaran, lalu pergi menyembah tuhan-tuhan lain di samping Allah dan mengulurkan tangan memohon pertolongan kepada mereka? Apabila sekali kita telah membuat pelanggaran setelah membuat pernyataan itu, maka di saat kita menghadap Allah untuk kedua kalinya, hati nurani kita akan mencela dan marah, kita pasti akan merasa malu. Celaan itu akan lebih keras pada pelanggaran yang kedua, dan hati kita akan mengutuk kita dari dalam diri kita. Bagaimana boleh terjadi bahwa di sepanjang hidup kita, kita terus menerus melakukan solat lima kali sehari, Tetapi akhlak kita tetap bengkok, perbuatan-perbuatan kita tetap tidak benar, dan hidup kita tidak berubah secara mendasar?

Dengan alasan ini Allah menerangkan ciri solat yang benar, yakni, "Sesungguhnya solat itu mencegah manusia dari perbuatan yang tidak senonoh dan dari kejahatan". Maka bila ada orang yang tidak terpengaruh oleh proses pembersihan, pembaharuan dan penyegaran yang demikian kerasnya, maka itu adalah karena perangainya yang buruk, bukan karena kesalahan solat itu. Bukan salah air dan sabun bila orang tidak mau putih tetapi salah hitamnya jua.

Saudara-saudara!

Jadi ada kekurangan besar dalam solat kita. Dan kekurangan itu adalah bahwa kita tidak memahami apa yang kita baca dalam solat kita. Tetapi bila kita mau menyediakan waktu sedikit saja, kita tentu akan bisa mengingati arti bacaan-bacaan dan do'a-do'a tersebut dalam bahasa yang kita fahami. Dan keuntungannya adalah kita akan memahami apa yang kita baca dalam solat kita itu.



Tuesday 5 January 2016

Hal-Hal yang dibolehkan dalam shalat (4)

📝 Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS.

🔟   Sujud Di atas Baju atau Sorban Karena Udzur (Alasan yang dibenarkan)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، صَلَّى فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ، يَتَّقِي بِفُضُولِهِ حَرَّ الْأَرْضِ وَبَرْدَهَا
📌Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada sehelai baju yang dihamparkannya,  untuk menahan panasnya tanah atau dinginnya di waktu beliau sujud.” (HR. Ahmad No. 2320, Abu Ya’la No. 2446, 2687. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairihi. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 2320)

Ada riwayat lain yang lebih shahih, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنْ الْأَرْضِ بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ
📌Kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat panas yang sangat, jika salah seorang kami ada yang tidak kuat meletakkan dahinya ke tanah, dia akan membentangkan pakaiannya lalu dia sujud di atasnya. (HR. Muslim No. 620)

Ada pun dalam riwayat Imam Bukhari, dari Anas bin Malik juga:
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ أَحَدُنَا طَرَفَ الثَّوْبِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ فِي مَكَانِ السُّجُودِ
📌Kami shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka salah seorang di antara kami meletakkan ujung pakaiannya lantaran panas yang sangat, di tempat sujud. (HR. Bukhari No. 1208)

Sedangkan jika tanpa adanya udzur maka hukumnya makruh.

1⃣1⃣ .   Membaca Ayat Dengan Melihat Mushhaf

Berikut keterangan dari Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
فإن ذكوان مولى عائشة كان يؤمها في رمضان من المصحف، رواه مالك. وهذا مذهب الشافعية
📌“Dzakwan, hamba sahayanya ‘Aisyah, kalau jadi imam bagi Aisyah di waktu shalat dalam bulan Ramadhan biasa membaca ayat dari mushhaf (Diriwayatkan oleh  Malik). (Fiqhus Sunnah, 1/269ح87).

Imam An Nawawi mengatakan:
لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ، وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ، وَلَوْ نَظَرَ فِي مَكْتُوبٍ غَيْرِ الْقُرْآنِ وَرَدَّدَ مَا فِيهِ فِي نَفْسِهِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ وَإِنْ طَالَ، لَكِنْ يُكْرَهُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ وَأَطْبَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ.
📌“Seandainya membaca Al Quran melalui mushaf, tidaklah membatalkan shalatnya. Sama saja, apakah dia sudah hafal Al Quran atau belum, bahkan menjadi wajib melihat mushaf jika dia belum hafal Al Fatihah sebagaimana penjelasan lalu. Walau kadang membolak-balikan halamannya dalam shalat, maka itu tidak membatalkan shalatnya. Juga bagi seorang yang melihat catatan lain selain Al Quran dan diulang-ulang isinya dalam hati walau lama tidaklah batal, tetapi makruh. Demikian pemaparan Asy Syafi’i dalam Al Imla’.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/20. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Ini juga menjadi pendapat Imam Malik, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad bin Hambal, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan: batal shalatnya. (Ibid) 

1⃣2⃣ . Ingat Dengan Sesuatu Hal Yang Tidak Termasuk Amalan Shalat

Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata:
إِنِّي لَأُجَهِّزُ جَيْشِي وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ
📌“Sesungguhnya saya mempersiapkan pasukan saya, pada saat itu saya sedang  shalat.” (Riwayat Bukhari)

Tentang ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu ini, Imam Bukhari membuat judul:  Bab Yufkiru Ar Rajulu Asy Syai’a fish shalah
Dari ‘Uqbah bin Al Harits Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَصْرَ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ سَرِيعًا دَخَلَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ وَرَأَى مَا فِي وُجُوهِ الْقَوْمِ مِنْ تَعَجُّبِهِمْ لِسُرْعَتِهِ فَقَالَ ذَكَرْتُ وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ تِبْرًا عِنْدَنَا فَكَرِهْتُ أَنْ يُمْسِيَ أَوْ يَبِيتَ عِنْدَنَا فَأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ
📌“Aku shalat ashar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika Beliau salam, beliau berdiri cepat-cepat lalu masuk menuju sebagian istrinya, kemudian  Beliau keluar dan memandang kepada wajah kaum yang nampak terheran-heran lantaran ketergesa-gesaannya. Beliau bersabda: “Aku teringat biji emas yang ada pada kami ketika sedang shalat, saya tidak suka mengerjakannya sore atau kemalaman,  maka saya perintahkan agar emas itu dibagi-bagi.” (HR. Bukhari No. 1221, Ahmad No. 16151, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Ahadits Wal Matsani No. 477)

  Walau hal ini dibolehkan, namun tetaplah dihindari demi kebagusan kualitas shalat. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ومع أن الصلاة في هذه الحالة صحيحة مجزئة   فإنه ينبغي للمصلي أن يقبل بقلبه على ربه ويصرف عنه الشواغل بالتفكير في معنى الايات والتفهم لحكمة كل عمل من أعمال الصلاة فإنه لا يكتب للمرء من صلاته إلا ما عقل منها.
“Meskipun shalatnya tetap sah dan mencukupi, tetapi seharusnya orang yang shalat itu menghadapkan hatinya kepada Allah dan melenyapkan segala godaan dengan memikirkan ayat-ayat dan memahami hikmah setiap perbuata shalat, karena yang dicatat dari perbuatan itu hanyalah apa-apa yang keluar dari kesadaran.” (Fiqhus Sunnah, 1/267)

Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنّ الرّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إلاّ عُشْرُ صلاتِهِ تُسْعُها ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
📌“Sesungguhnya ada orang yang selesai shalatnya tetapi tidak mendapatkan melainkan hanya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima seperempat, sepertiga, dan setengah dari shalatnya.” (HR. Abu Daud No. 211, dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 211). Sekian.

Wallahu A’lam

Referensi:
Al Quran Al Karim
Shahih Bukhari, karya Imam Al Bukhari
Shahih Muslim, karya Imam Muslim
Shahih Ibnu Hibban, karya Imam Ibnu Hibban
Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah
Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Daud
Sunan At Tirmidzi, karya Imam At Tirmidzi
Sunan An Nasa’i, karya Imam An Nasa’i
Sunan Ad Darimi, karya Imam Ad Darimi
Sunan Ad Daruquthni, karya Imam Ad Daruquthni
As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi
Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth
Musnad Abi Ya’la, karya Imam Abu Ya’la
Al Ahadits wal Matsani, karya Imam Ibnu Abi ‘Ashim
Syarhus Sunnah, karya Imam Al Baghawi
Al Muwaththa’¸karya Imam Malik bin Anas
Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, karya Imam Al Hakim An Naisaburi
Al Mushannaf, karya Imam Abdurrazzaq
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya Imam An Nawawi
Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
Tuhfah Al Ahwadzi, kaya Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri
Syarh Sunan Abi Daud, karya Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr
Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam An Nawawi
Subulus Salam, karya Imam Amir Ash Shan’ani
Tahqiq Misykat Al Mashabih, karya Syaikh Al Albani
Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, karya Syaikh Al Albani
Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, karya Syaikh Al Albani
dll

Monday 4 January 2016

Tadabbur QS. Al-Haqqah (2)

📝 Dr. Saiful Bahri, M.A

Allah pun menyebutkan akhir yang naas bagi Fir’aun dan kaum-kaum sebelumnya yang mendustakan utusan-Nya.

📌”Dan telah datang Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar” (QS. 69:9).

👉Ibnu katsir mengartikannya secara umum: kaum-kaum terdahulu yang dimusnahkan Allah karena pendustaan yang mereka lakukan ([5]). Tapi beberapa mufassirin mengartikannya secara spesifik; yaitu kaumnya Nabi Luth ([6]). Kata yang dipilih Allah juga berbeda. ”al-khâti`ah” yaitu kesalahan fatal, yang dilakukan dengan sengaja tanpa ada niat untuk memperbaiki. Subjek (pelakunya) disebut dengan ”khâti`ûn” ([7]). Berbeda dengan kesalahan secara umum ”khata``” yang subjeknya ”mukhti`un” adalah orang yang berbuat salah tanpa unsur kesengajaan, atau dengan sengaja tapi karena lalai, atau kemudian disertai keinginan untuk memperbaiki/bertaubat. Maka kepada mereka ditimpakan hukuman dan adzab yang sangat dahsyat dan bermacam-macam.

📚Sangkakala Kehancuran

Maka tatkala sangkakala ditiup oleh malaikat. Mulailah hari kehancuran itu. Hari itu lebih dahsyat dari hari-hari buruk yang menimpa kaum ‘Ad, Tsamud, kaum Nabi Nuh dan Luth, Kaum Madyan, Fir’aun. Hari kiamat yang lebih mengerikan.

📌”Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup. Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur” . (QS. 69: 13-14)

Sekali bentur saja sudah membuat bumi ini berkeping-keping. Dan langit yang selama ini menjadi atap terbelah, kemudian runtuh. Dan hari kehancuran itu membuat orang-orang hamil langsung melahirkan. Orang-orang lari mencari perlindungan, namun mereka takkan mampu mencari tempat persembunyian. Masing-masing memikirkan keselamatan dirinya. Sehingga tak ada lagi saling kenal, bahkan ibu dan anaknya, juga diantara sesama saudara dan famili.

📌”Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah) ”. (QS. 69: 18)

Mau bersembunyi di mana? Apa yang mereka sembunyikan. Setelah hari kehancuran itu, kemudian Allah membangkitkan semua manusia untuk mempertanggungjawabkan tingkah lakunya selama di dunia.

📌”Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, Bacalah kitabku (ini)”. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.  Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai. Dalam syurga yang tinggi, buah-buahannya dekat. (kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu” (QS. 69: 19-24)

🔹Balasan yang baik untuk pelaku kebaikan. Hari itu muka mereka berseri-seri, bahagia dan bangga. Karenanya mereka bangga dengan catatan amal dan prestasi mereka. Karena Allah menyematkan penghargaan tersebut di depan banyak manusia dan disaksikan para malaikatnya.

Ketika para malaikat juga orang-orang menanyai mereka mereka pun tak segan membuka rahasia keberhasilan ini. ”Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku” . Keyakinan inilah yang kemudian membawa mereka konsisten sepanjang hidup untuk memelihara stabilitas dan kualitas keimanan serta ketakwaan mereka.

Bersambung

Hal-hal yang dibolehkan dalam shalat (3)

📝 Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS.

materi sebelumnya bisa dilihat di
www.iman-islam.com/2015/12/hal-hal-yang-dibolehkan-dalam-shalat.html?m=1

7⃣ .       Bertasbih dan bertepuk Tangan Untuk Meralat Imam

Dalilnya:
عن النبي صلى الله عليه وسلم:  مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ

  Dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: 📌“Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan  bertepuk tangan hanyalah  untuk kaum wanita. (HR. Bukhari No. 652, Muslim No. 421,  Abu Daud No. 940, Ibnu Hibban No. 2260, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3147, 5089, Ibnu Khuzaimah No. 1623, Malik dalam Al Muwaththa No. 390)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
 يجوز التسبيح للرجال والتصفيق للنساء إذا عرض أمر من الامور، كتنبيه الامام إذا أخطأ وكالاذن للداخل أو الارشاد للاعمى أو نحو ذلك.
📌“Dibolehkan bagi laki-laki bertasbih dan bertepuk tangan bagi wanita, jika ada hal yang membuatnya tidak nyaman seperti: mengingatkan imam ketika berbuat kesalahan, memberi izin kepada orang yang akan masuk, atau memandu orang buta atau yang semisalnya.” (Fiqhus Sunnah,1/264)

8⃣      Meralat Bacaan Imam Yang Salah atau Lupa

Dalilnya:
عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى صلاة فقرأ فيها فالتبس عليه فلما فرغ قال لابي: (أشهدت معنا؟) قال: نعم. قال: (فما منعك أن تفتح علي؟) رواه أبو داود وغيره ورجاله ثقات.
📌Dari Ibnu Umar bahwa Nabi shalat, lalu membaca suatu ayat, tiba-tiba beliau lupa atau ragu dalam bacaannya. Setelah selesai dia bertanya kepada ayahku (Umar bin Al Khathab): apakah engkau shalat bersamaku? Umar menjawab: Ya. Nabi bersabda: Apa yang menghalangimu untuk mengingatkanku? (HR. Abu Daud No. 907, Ibnu Hibban No. 2242, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 13216. Syaikh Al Albani menghasankannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 907)

Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr Hafizhahullah:
فهذا يدلنا على مشروعية الفتح على الإمام إذا حصل منه خطأ
📌“Ini menunjukkan bahwa disyariatkan untuk memberitahukan kepada imam jika didapatkan padanya ada kesalahan.” (Syarh Sunan Abi Daud, 115. Al Misykat)

9⃣      Memuji Allah Ketika Bersin Atas Suatu Ni’mat

Dalilnya:
Dari Rifa’ah bin Rafi’, dia berkata;
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ فَقَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا
📌“Aku shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku bersin, dan aku berkata: Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha (segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak lagi baik dan keberkahan di dalamnya, dan keberkahan atasnya, sebagaimana yang disukai Tuhan kami dan diridhaiNya). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai shalat, dia bertanya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi kedua kalinya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab.  Beliau bertanya lagi ketiga kalinya: “siapa yang yang mengatakan tadi dalam shalat?” maka, berkatalah Rifa’ah bin Rafi’ bin ‘Afra: “Saya wahai Rasulullah!” Beliau bersabda: “Bagaimana engkau mengucapkannya?” dia menjawab: “Aku  mengucapkan: ” Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sebanyak tiga puluh Malaikat saling merebutkan siapa di antara mereka yang membawanya naik (kelangit).” (HR. At Tirmidzi No. 402, katanya: hasan. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 992)

👉Riwayat ini menunjukkan bolehnya bersin dalam shalat, lalu dia mengucapkan bacaan seperti di atas secara jahr (keras), dan hal ini terjadi di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak mengingkari bahkan justru memujinya. At Tirmidzi menambahkan bahwa sebagian ulama menganjurkan hal ini pada shalat tathawwu’ (sunah). Pernyataan ini lemah, sebab hal ini terjadi pada shalat wajib, yakni maghrib,  sebagaimana diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 4044.
Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyebutkan riwayat dari Bisyr bin Umar Az Zuhrani, dari Rifa’ah bin Yahya bahwa Shalat tersebut adalah maghrib. (Fathul Bari, 2/286)

Riwayat ini sekaligus menjadi bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa kebolehannya hanya pada shalat  sunah.

🔑Ada pun, bagi yang mendengarnya, maka dianjurkan membaca Yarhamukallah, tetapi ini hanya berlaku  di luar shalat. Imam Ash Shan’ani menyebutkan, bahwa kalangan zhahiriyah dan Ibnul Arabi  berpendapat wajibnya tasymit bagi setiap orang yang mendengar ucapan Alhamdulillah. (Imam Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, 7/12)

Ada pun di dalam shalat, tidaklah menjawabnya, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun tidak menjawab bersin Rifa’ah bin Rafi’ setelah dia membaca Alhamdulillah. Bahkan Beliau melarang itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam haditsnya yang cukup panjang, dari Muawiyah bin Al Hakam As Sulami. Ketika beliau shalat bersama Rasulullah, ada seorang yang bersin dan mengatakan Alhamdulillah, lalu Muawiyah menjawab: Yarhamukallah. Ringkasnya, setelah shalat Nabi menasihatinya:

إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآن
📌 “Sesungguhnya pada shalat ini, tidaklah ada kebaikan di dalamnya bagi ucapan manusia, sesungguhnya dia adalah tasbih, takbir, dan membaca Al Quran.” (HR. Muslim No. 537, juga Abu Daud No. 930, dengan lafaz: Sesungguhnya dalam shalat ini tidak halal suatu apapun dari ucapan manusia ...)

🔑Mayoritas ulama menyatakan hal itu terlarang, dan membatalkan shalat, sebab tidak dicontohkan oleh Nabi, dan termasuk kalamun nas (ucapan manusia) yang masuk ke dalam shalat.  Imam An Nawawi mengatakan, hadits di atas menunjukkan haramnya kalamun nas (ucapan manusia) di dalam shalat, baik karena ada kebutuhan atau tidak, ucapan yang bermaslahat bagi shalat atau tidak. Jika ada kebutuhan untuk memberikan peringatakan maka bertasbih bagi laki-laki dan menepuk tangan bagi wanita, inilah madzhab kami, Malik, Abu Hanifah, dan mayoritas salaf dan khalaf. Namun dimaafkan bagi orang yang lupa dan bodoh (belum tahu), sebagaimana yang dilakukan oleh Muawiyah bin Al Hakam, beliau tidak diperintah untuk mengulang shalatnya, tetapi Rasulullah memberikan pengajaran untuknya. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/298)

🔹Bersambung🔹

Hal-hal yang dibolehkan dalam shalat (2)

📝 Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS.

4⃣ Berjalan Sedikit Karena Ada Keperluan

Dalilnya:
 عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فاستفتحت فمشى ففتح لي ثم رجع الى مصلاه. ووصفت أن الباب في القبلة. رواه أحمد وأبو داود والنسائي والترمذي وحسنه.
📌Dari ‘Aisyah, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di rumah dan pintu di depannya tertutup, ketika saya datang saya minta dibukakan pintu. Maka beliau berjalan dan membukakan pintu kemudian kembali shalat. Aisyah mengatakan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat. (HR. Ahmad No. 24027, Abu Daud No. 922, An Nasai, At Tirmidzi No. 601,  dia menghasankannya, Ad Daruquthni dalam As Sunan, 2/8, Abu Yala No. 4406, Ibnu Hibban No. 2355. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: hasan. Tahqiq Musnad Ahmad No. 24027)

Tapi pembolehan ini hanya berlaku jika berjalannya masih kearah kiblat baik depan, kanan, dan kiri, tetapi tidak berlaku ke arah membelakangi kiblat. Semua ahli fiqih sepakat berjalan dengan jumlah langkah yang banyak dalam shalat fardhu  adalah membatalkan shalat.

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
فدل على أن مثل هذا العمل لا بأس به في الصلاة؛ لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله وهو القدوة والأسوة صلوات الله وسلامه وبركاته عليه
📌Maka, hadits ini menunjukkan bahwasanya hal yang semisal perbuatan ini adalah tidak apa-apa dilakukan saat shalat, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, dan dia adalah teladan dan contoh  -semoga shalawat, salam, dan keberkahanNya tercurah kepadanya. (Syarh Sunan Abi Daud, 117. Al Misykat)

5⃣ Menggendong Anak Kecil

Dalilnya:
عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ: " إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى  وأُمَامَةُ ابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهِيَ ابْنَةُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى رَقَبَتِهِ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى رَقَبَتِهِ "
📌Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu  Qatadah berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat sedangkan Umamah anak puteri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga puteri dari Abu Al Ash bin Ar Rabi bin Abdul Uzza - berada di pundaknya, jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya. (HR. Ahmad No. 22589, An Nasai No. 827, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7827, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai No. 827. Syaikh Syuaib Al Arnauth juga menshahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika shalat subuh)

📚Apa Hikmahnya?
قال الفاكهاني: وكأن السر في حمله صلى الله عليه وسلم أمامة في الصلاة دفعا لما كانت العرب تالفه من كراهة البنات بالفعل قد يكون أقوى من القول.
Bernays Al Fakihani: Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di shalatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan. (Fiqhus Sunah, 1/262)
 
Dalil lainnya:
Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya:
خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاة العشي (الظهر أو العصر) وهو حامل (حسن أو حسين) فتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه ثم كبر للصلاة فصلى فسجد بين ظهري صلاته سجدة أطالها، قال: إني رفعت رأسي فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ساجد فرجعت في سجودي.
فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت بين ظهري الصلاة سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر، أو أنه يوحى إليك؟ قال: (كل ذلك لم يكن، ولكن ابني ارتحلني فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته)
 
📌Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar untuk shalat bersama kami untuk shalat siang (zhuhur atau ashar), dan dia sambil menggendong (hasan atau Husein), lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di letakkannya kemudian bertakbir untuk shalat, maka dia shalat, lalu dia sujud dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di atas punggung Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang sujud, maka saya pun kembali sujud. Setelah shalat selesai, manusia berkata: Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu? Beliau bersabda: Semua itu tidak  terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas. (HR. An Nasai No. 1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai No. 1141)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
هَذَا يَدُلّ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَمَنْ وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا مِنْ الْحَيَوَان الطَّاهِر فِي صَلَاة الْفَرْض وَصَلَاة النَّفْل ، وَيَجُوز ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم ، وَالْمُنْفَرِد ، وَحَمَلَهُ أَصْحَاب مَالِك - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - عَلَى النَّافِلَة ، وَمَنَعُوا جَوَاز ذَلِكَ فِي الْفَرِيضَة ، وَهَذَا التَّأْوِيل فَاسِد ، لِأَنَّ قَوْله : يَؤُمّ النَّاس صَرِيح أَوْ كَالصَّرِيحِ فِي أَنَّهُ كَانَ فِي الْفَرِيضَة ، وَادَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّهُ مَنْسُوخ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ خَاصّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ ، وَكُلّ هَذِهِ الدَّعَاوِي بَاطِلَة وَمَرْدُودَة ، فَإِنَّهُ لَا دَلِيل عَلَيْهَا وَلَا ضَرُورَة إِلَيْهَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح صَرِيح فِي جَوَاز ذَلِكَ ، وَلَيْسَ فِيهِ مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع ؛ لِأَنَّ الْآدَمِيَّ طَاهِر ، وَمَا فِي جَوْفه مِنْ النَّجَاسَة مَعْفُوّ عَنْهُ لِكَوْنِهِ فِي مَعِدَته ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ عَلَى الطَّهَارَة ، وَدَلَائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى هَذَا . وَالْأَفْعَال فِي الصَّلَاة لَا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ ، وَفَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هَذَا - بَيَانًا لِلْجَوَازِ ، وَتَنْبِيهًا بِهِ عَلَى هَذِهِ الْقَوَاعِد الَّتِي ذَكَرْتهَا ، وَهَذَا يَرُدُّ مَا اِدَّعَاهُ الْإِمَام أَبُو سُلَيْمَان الْخَطَّابِيُّ أَنَّ هَذَا الْفِعْل يُشْبِه أَنْ يَكُون مِنْ غَيْر تَعَمُّد ، فَحَمَلَهَا فِي الصَّلَاة لِكَوْنِهَا كَانَتْ تَتَعَلَّق بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمْ يَدْفَعهَا فَإِذَا قَامَ بَقِيَتْ مَعَهُ ، قَالَ : وَلَا يُتَوَهَّم أَنَّهُ حَمَلَهَا وَوَضَعَهَا مَرَّة بَعْد أُخْرَى عَمْدًا ؛ لِأَنَّهُ عَمَل كَثِير وَيَشْغَل الْقَلْب ، وَإِذَا كَانَتْ الْخَمِيصَة شَغَلَتْهُ فَكَيْف لَا يَشْغَلهُ هَذَا ؟ هَذَا كَلَام الْخَطَّابِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَهُوَ بَاطِل ، وَدَعْوَى مُجَرَّدَة ، وَمِمَّا يَرُدّهَا قَوْله فِي صَحِيح مُسْلِم فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا .
وَقَوْله : ( فَإِذَا رَفَعَ مِنْ السُّجُود أَعَادَهَا ) ، وَقَوْله فِي رِوَايَة مُسْلِم : ( خَرَجَ عَلَيْنَا حَامِلًا أُمَامَةَ فَصَلَّى ) فَذَكَرَ الْحَدِيث . وَأَمَّا قَضِيَّة الْخَمِيصَة فَلِأَنَّهَا تَشْغَل الْقَلْب بِلَا فَائِدَة ، وَحَمْل أُمَامَةَ لَا نُسَلِّم أَنَّهُ يَشْغَل الْقَلْب ، وَإِنْ شَغَلَهُ فَيَتَرَتَّب عَلَيْهِ فَوَائِد ، وَبَيَان قَوَاعِد مِمَّا ذَكَرْنَاهُ وَغَيْره ، فَأُحِلّ ذَلِكَ الشَّغْل لِهَذِهِ الْفَوَائِد ، بِخِلَافِ الْخَمِيصَة . فَالصَّوَاب الَّذِي لَا مَعْدِل عَنْهُ : أَنَّ الْحَدِيث كَانَ لِبَيَانِ الْجَوَاز وَالتَّنْبِيه عَلَى هَذِهِ الْفَوَائِد ، فَهُوَ جَائِز لَنَا ، وَشَرْع مُسْتَمِرّ لِلْمُسْلِمِينَ إِلَى يَوْم الدِّين . وَاللَّهُ أَعْلَم .
 
📌“Hadits ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil, laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik shalat fardhu atau sunah, baik jadi imam atau makmum.
Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk shalat sunah, tidak dalam shalat fardhu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada shalat fardhu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada shalat shubuh.

Sebagian kalangan Maliki menganggap hadits ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bai Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara. Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begiru pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut. Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam  Shahih Muslim: Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya. Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyuan sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadits itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian. Wallahu Alam (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi Ruh Al Islam)    
   
6⃣  Memberikan Salam dan Mengajak Berbicara Orang Shalat

Dalilnya:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ، فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ ، فَكَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، ثُمَّ كَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ، وَيُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: " مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي.
📌Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: Bagaimana tugasmu yang saya minta untuk diselesaikan? Sebenarnya tak ada halangan bagi saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.” (HR. Muslim No. 540, Ahmad No. 14345, Abu Daud No. 926, Abu ‘Awanah, 2/140, Ibnu Khuzaimah No. 889, Ibnu Hibban No. 2518, 2519)

Dari Ibnu Umar: “Aku bertanya kepada Bilal:
كيف كان النبي صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون في الصلاة؟ قال: كان يشير بيده.
📌“Bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab salam kepada mereka ketika beliau sedang shalat?” Bilal menjawab: “Memberikan isyarat dengan tangannya.”   (HR. Ibnu Majah No. 1017, At Tirmidzi No. 368, katanya: hasan shahih.  An Nasa’i No. 1187, Ad Darimi No. 1362, dari Suhaib)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
ويستوي في ذلك الاشارة بالاصبع أو باليد جميعها أو بالايماء بالرأس فكل ذلك وارد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.
📌“Dalam hal ini sama saja, baik isyarat dengan jari, tangan atau anggukkan kepala, semua ini adalah boleh karena memiliki dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Fiqhus Sunah, 1/264)

Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:
فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَشَارَ مَرَّةً بِأُصْبُعِهِ وَمَرَّةً بِيَدِهِ
📌“Maka, dibolehkan memberikan isyarat, sekali dengan jari dan sekali dengan tangannya.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/365. Cet. 2, Al Maktabah As Salafiyah, Madinah)

🔹Bersambung🔹

Hal-Hal yang dibolehkan dalam shalat (1)

📝 Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS.

 Yang dimaksud Hal-Hal Yang Dibolehkan adalah Perbuatan yang tidak membatalkan shalat dan tidak pula haram dan makruh. Di antaranya adalah:

1⃣ Menangis, baik karena takut kepada Allah atau sebab lainnya selama tidak dibuat-buat.
Dalil-Dalil:

Allah Ta’ala berfirman:
 إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
📌“Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka mereka tersungkur sambil sujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq:
والاية تشمل المصلي وغيره.
📌“Ayat ini juga mencakup bagi orang shalat dan selainnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/259)

Dari Abdullah bin Syikhir, dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
📌“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dan di dadanya ada suara seperti air mendidih karena nangisnya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam. (HR. Abu Daud No. 904, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 1000)

Dan masih banyak riwayat yang menceritakan menangisnya Rasulullah, Abu Bakar, Umar, dan lainnya ketika shalat. Tetapi ini hanya berlaku bagi tangisan disebabkan takut kepada Allah Taala, AzabNya, neraka, azab kubur, dan hal-hal yang terkait dengan akhirat. Ada pun menangisi musibah pribadi yang terkait keduniaan adalah tidak boleh bahkan membatalkan shalat; nangis karena rumah kebanjiran, tidak bisa membayar hutang, ditinggal suami/istri, dan perkara dunia lainnya.

Berkata Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
أن البكاء في الصلاة إذا كان من خشية الله عز وجل والخوف منه وتذكر الإنسان أمور الآخرة وما يمر به في القرآن الكريم من آيات الوعد والوعيد فإنه لا يبطل الصلاة وأما إذا كان البكاء لتذكر مصيبة نزلت به أو ما أشبه ذلك فإنه يبطل الصلاة لأنه حدث لأمر خارج عن الصلاة وعليه فيحاول علاج نفسه من هذا البكاء حتى لا يتعرض لبطلان صلاته وعليه أيضاً بل يشرع له أن لا يكون في صلاته مهتماً بغير ما يتعلق بها فلا يفكر في الأمور الأخرى لأن التفكير في غير ما يتعلق بالصلاة في حال الصلاة ينقصها كثيرا ًفإن ذلك من عمل الشيطان ومن وساوسه ومن سرقته لصلاة العبد
📌Sesungguhnya menangis dalam shalat jika disebabkan rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla, dan takut dari azabNya, dan manusia mengingat urusan-urusan akhirat, dan apa-apa yang Al Quran ceritakan tentang akhirat, berupa ayat janji dan ancaman, sesungguhnya itu tidak membatalkan shalat. Sedangkan, jika menangis karena mengingat musibah menimpanya, atau yang semisal itu, sesungguhnya itu membatalkan shalat karena dia mensisipkan hal di luar shalat. Wajib atasnya untuk merubah dirinya dari tangisan seperti ini sehingga shalatnya   tidak menjadi batal.  Wajib baginya juga, bahkan disyariatkan baginya agar dalam shalatnya tidak dipecahkan oleh selain yang terkait dengan shalat. Maka, janganlah dia memikirkan perkara lainnya, sebab memikirkan perkara lain selain shalat dalam keadaan shalat dapat banyak menguranginya, sebab hal itu merupakan perbuatan syetan,  was-was dari syetan, dan bentuk syetan dalam mencuri shalat seorang hamba. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Fatawa Nur Alad Dar, Bab Ash Shalah, No. 378) 

2⃣ Menoleh Jika Ada Kebutuhan

Dalil-Dalil:
Sahl bin Hanzhalah Radhiallahu ‘Anhu, berkata:
فجعل رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يصلي وهو يلتفت إلى الشِّعب
📌“Maka Rasulullah menoleh pandangan dalam shalatnya menuju celah bukit.” (HR. Abu Daud 2501, Al Baihaqi dalam Al Sunan Al Kubra, No.  2083, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2051. Al Hazimi mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad, 4/289)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يلتفت في صلاته يمينا وشمالا ولا يلوي عنقه خلف ظهره
📌“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menoleh dalam shalatnya ke kanan dan kiri dan tidak sampai memutarkan lehernya kebelakang.” (HR. An Nasa’i No. 1201, Ahmad No. 2485, Abu Ya’la No. 2592, Ibnu Hibban No. 2288, At Tirmidzi No. 587, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 2084, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 864, katanya shahih sesuai syarat Bukhari, dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Ibnu Khuzaimah No. 484, Al Baghawi No. 737, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya,  Shahihwa Dhaif Sunan An Nasai No. 1201, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 998, dll)

Tetapi jika tidak keperluan, maka itu makruh. Dari Al Harts Al Asyari, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
فإذا صليتم فلا تلتفتوا فإن العبد إذا لم يلتفت استقبله جل وعلا بوجهه
📌“Jika kalian shalat janganlah menoleh, sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala akan memandang hambaNya selama dia tidak menoleh. (HR. Ahmad No. 17170, Ibnu Hibban No. 6233, At Tirmidzi No. 2863, 2864, katanya: hasan shahih. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 3427, 3428, Ibnul Atsir dalam Asadul Ghabah, 1/383, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 1895, Abu Yala No. 1571, Ibnu Mandah dalam Al Iman No. 212, Al Hakim dalam Al Mustadrak, 1/118, 421, juga 11/17, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, dan  Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 17170. juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Lihat Shahihul Jami No. 1724 )

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
سألت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم عن التفات الرجل في الصلاة، فقال: "إنما هو اختلاسٌ يختلسه الشيطان من صلاة العبد".
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang seseorang yang menoleh dalam shalat, beliau menjawab: Itu adalah sambaran kilat dari syetan terhadap shalat seorang hamba. (HR. Bukhari No. 751,3291, Abu Daud No. 910, An Nasai dalam Al Kubra No. 1120, At Tirmidzi No. 590, Ahmad No. 24412, Abu Yala No. 4634, 4913, Abu Nuaim dalam Al Hilyah , 9/30, Al  Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 732, Ibnu Hibban No. 2287, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3344, dll)

3⃣  Membunuh Ular, Kalajengking Kumbang, dan binatang membahayakan lainnya yang mengganggu shalat.

📌Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
قتل الحية والعقرب والزنابير ونحو ذلك من كل ما يضر وإن أدى قتلها إلى عمل كثير
“Membunuh ular, kalajengking kumbang dan yang semisalnya yang bisa mengganggu shalat, walau pun dengan gerakan yang banyak untuk membunuhnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/261)

Dalilnya:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersbada:
(اقتلوا الاسودين   في الصلاة: الحية والعقرب ) رواه أحمد وأصحاب السنن. الحديث حسن صحيح.
📌“Bunuhlah oleh kalian dua binatang hitam dalam shalat: ular dan kala jengking. (HR. Ahmad No.  7379, Ibnu Majah No. 1245, Ibnu Khuzaimah No. 869,  Al Baihaqi dalam Al Marifah No. 1041, 1042, Ibnul Jarud No. 213, dll. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 7379)

🔹Bersambung🔹