Thursday 8 November 2018

PERINTAH KHUSUS UNTUK ZAKAT

TIGA PERINTAH MENGENAI ZAKAT

Dalam Al-Quran, Allah telah mencantumkan tiga perintah mengenai zakat secara terpisah dalam tiga tempat:

1. Dalam Surah Al-Baqarah

“… Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. Dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu…” (Al-Quran, al-Baqarah, 2:267)

2. Dalam Surah Al-An’am dikatakan

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam itu) apabila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin) dan janganlah kamu berlebihan…” (Al-Quran, al-An’am, 6:141)

Kedua-dua ayat di atas berhubungan dengan hasil-hasil bumi dan ulama fiqah, Hanafi, mengatakan bahwa kecuali tanam-tanaman yang tumbuh sendiri seperti kayu-kayuan, rumput dan bambu, maka jenis-jenis tanaman lainnya seperti hasil bumi, sayur-sayuran dan buah-buahan haruslah dibayar zakatnya. Dalam hadis dikatakan bahwa zakat hasil tanaman yang diusahakan dengan kerja manusia, yakni yang menggunakan pengairan, adalah seperduapuluhnya, dan zakat ini wajib dikeluarkan pada saat pemetikan.

3. Selanjutnya, dalam surah at-Taubah dikatakan

"....Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka: 'Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu". (Al-Qur'an, at-Taubah, 9:34-3 5)

Selanjutnya dikatakan,

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (Al-Qur'an, at-Taubah, 9:60)

Setelah itu dikatakan,

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..." (Al-Qur'an, at-Taubah, 9:103)

Dari ketiga ayat ini kita tahu bahwa apabila sebagian dari harta benda yang dikumpulkan dan dikembangkan itu tidak dibelanjakan pada jalan Allah, maka seluruh harta benda itu menjadi tidak suci. Satu-satunya cara untuk mensucikannya adalah dengan mengambil hak Allah daripadanya, dan memberikannya kepada hamba-hambaNya yang berhak menerimanya.

Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa ketika ancaman siksa bagi orang-orang yang mengumpulkan dan menyimpan emas dan perak diwahyukan, kaum Muslimin merasa terkejut dan bingung karena mereka mengira bahwa hal itu berarti tidak satu dirham pun yang boleh disimpan, dan semuanya harus dibelanjakan di jalan Allah. Akhimya sahabat Umar r.a. pergi menemui Nabi saw dan melaporkan kecemasan orang banyak. Rasulullah .saw lalu mengatakan:

"Allah telah mewajibkan zakat kepadamu agar harta bendamu yang selebihnya (yakni yang telah diambil zakatnya) menjadi suci bagimu".

Sebuah hadis yang sama diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa'id al-Khudri r.a. yang menyatakan bahwa Rasulullah saw mengatakan kepadanya:

"Apabila kamu telah mengambil zakat dari harta bendamu, maka hutang yang menjadi tanggungamu telah terbayar".

Dalam ayat-ayat tersebut di atas, terkandung perintah-perintah tentang zakat hasil bumi, emas dan perak. Tetapi dari hadis-hadis kita tahu bahwa zakat juga diwajibkah atas barang dagangan, unta, domba dan kambing.

NISAB (UKURAN MINIMALL) BEBERAPA HARTA YANG WAJIB DIZAKATI

Perak : 200 dirham atau 52 ½ tola.
Emas : 7 ½ tola (3 ozs).
Unta : 5 ekor
Kambing : 40 ekor
Lembu : 30 ekor
Barang dagangan : Sama nilai dengan 52 ½ tola perak (21 ozs)
 
Barangsiapa yang memiliki harta benda tersebut di atas dalam waktu satu tahun, maka wajib atasnya untuk mengambil seperempatpuluh untuk zakat. Tentang emas dan perak, ulama-ulama Hanafi mengatakan bahwa bila keduanya secara terpisah tidak mencapai nisab, Tetapi apabila digabungkan boleh mencapai nisab salah satu daripadanya, maka harta gabungan itu wajib dizakati.

ZAKAT PERMATA

Apabila harta itu berbentuk permata, maka menurut sahabat 'Umar dan sahabat Ibn Mas'ud, harta itu wajib dizakati, dan Imam Abu Hanifah sependapat dengan mereka. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw melihat gelang emas di tangan dua orang wanita. Beliau bertanya kepada mereka:

"Apakah sudah kamu zakati?" salah seorang di antara mereka menjawab: "Belum". Maka Rasulullah berkata: "Maukah kamu memakai gelang api pada hari kiamat sebagai ganti gelangmu itu?"

Demikian juga diriwayatkari oleh Ummu Salamah, bahwa ia mempunyai gelang kaki dari emas, dan ia bertanya kepada Nabi kalau-kalau barang itu termasuk kategori kanz (kekayaan yang dihimpun yang dikutuk Allah dan RasulNya). Rasulullah saw menjawab: "Kalau banyaknya emas di dalamnya sampai nisab dan telah dikeluarkan zakatnya, maka barang itu bukan kanz. "

Dari dua hadis di atas kita ketahui bahwa apabila emas dan perak berbentuk perhiasan, maka tetap saja wajib dizakati seperti halnya kalau berupa uang tunai. Tetapi terhadap permata-permata dan batu-batu berharga, zakat tidaklah wajib diberikan.

MEREKA YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT

Ada delapan golongan yang telah dinyatakan oleh al-Qur'an sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Mereka itu ialah:

1. Fuqara (orang-orang melarat)

Mereka adalah orang-orang yang memang mempunyai sedikit uang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keperluan mereka. Hidup mereka sulit, Tetapi mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Definisi ini diberikan oleh Imam Zuhri, Imam Abu Hanifah, Ibnu Abbas, Hasan Basri, dan ulama-ulama salaf terkemuka yang lain.

2. Masakin (Orang-orang miskin)

Mereka ini adalah orang-orang sengsara yang tidak mempunyai apa-apa untuk memenuhi keperluan mereka. Sahabat 'Umar juga memasukkan ke dalam golongan ini orang-orang yang sebenarnya mampu mencari nafkah tetapi tidak mempunyai pekerjaan.

3. 'Amilin alaiha (orang-orang yang mengumpulkan dan membagi zakat)

Mereka ini adalah orang-orang yang ditunjuk pemerintah Islam untuk mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat. Mereka dibayar dari dana zakat.

4. Muallafatulqulub (orang-orang yang hatinya perlu didekatkan kepada Allah)

Yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang mungkin sekali perlu diberi uang untuk memperolehi dukungan dari mereka terhadap Islam atau untuk mencegah mereka agar tidak memusuhi Islam. Termasuk juga dalam hal ini adalah orang-orang yang baru masuk Islam yang perlu digembirakan hatinya. Apabila seseorang kehilangan pekerjaan dan jatuh melarat, karena meninggalkan masyarakatnya yang tidak beriman dan bergabung dengan kaum Muslimin, maka tentu saja mereka wajib mendapat pertolongan. Bahkan seandainya ia kaya, zakat juga boleh diberikan kepadanya agar supaya hatinya bertambah teguh dalam Islam. Pada peristiwa perang Hunain, Rasulullah saw memberikan banyak sekali harta rampasan perang kepada orang-orang yang baru masuk Islam, begitu banyak sehingga setiap orang mendapat bagian seratus ekor unta. Sahabat-sahabat Nabi dari kaum Anshar menyatakan ketidakpuasannya atas tindakan Nabi, untuk itu Nabi berkata:

"Orang-orang ini baru saja memeluk Islam setelah meninggalkan kekafiran. Aku ingin menyenangkan hati mereka". Atas dasar ini Imam Zuhri mendefinisikan Muallafatulqulub sebagai; "Setiap orang Kristian, Yahudi, atau lain-lain yang baru masuk Islam, walaupun ia seorang yang kaya".

5. Fir riqob (untuk membebaskan budak)

Yang dimaksud di sini adalah apabila ada seseorang yang ingin membebaskan diri dari perbudakan, maka ia harus diberi zakat agar ia dapat menebus dirinya kepada tuannya. Dimasa sekarang ini, sistem perbudakan tidak ada. Karena itu, saya kira orang-orang yang menjalani hukuman penjara, karena tidak mampu membayar hutang atau denda yang dikenakan oleh pengadilan, dapat ditolong untuk membebaskan dirinya dengan uang zakat. Ini juga termasuk dalam definisi fir riqob.

6. Al ghorimin (untuk membebaskan seseorang dari belenggu hutang)

Termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang terbelenggu oleh hutang. Ini tidak berarti bahwa zakat dapat diberikan kepada orang yang mempunyai hutang seratus rupiah sedang ia memiliki uang seribu rupiah. Artinya ialah bahwa zakat dapat diberikan kepada seseorang yang mempunyai hutang yang banyak sehingga setelah membayar hutangnya, hartanya yang tinggal tidak mencapai nisab zakat. Sebaliknya, ulama-ulama fiqh yang termasyhur mengatakan bahwa tidak layak memberikan zakat kepada orang yang terbelenggu hutang karena boros dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk, karena apabila ia diberi zakat, maka ia akan semakin boros dan menuruti kebiasaan buruknya dengan keyakinan, namun ia akan mendapat zakat untuk membebaskan hutangnya.

7. Fi sabilillah (dijalan Allah)

Ini adalah suatu istilah umum yang berhubungan dengan semua pekerjaan dan usaha yang baik. Tetapi secara khusus, berarti menolong suatu usaha untuk meninggikan kalimah Allah. Rasulullah saw menyatakan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang yang kaya untuk mengambil zakat; tetapi apabila ia memerlukan bantuan untuk usaha jihad, maka ia harus diberi zakat, karena mungkin ia cukup kaya untuk memenuhi keperluannya sendiri, tetapi tidak mampu untuk membiayai sendiri keperluan-keperluan usaha jihadnya. Karena itu, ia perlu dibantu dengan zakat.

8. Ibnus sabil (orang yang melakukan perjalanan)

Seseorang yang sedang melakukan perjalanan mungkin mempunyai banyak uang dirumahnya; tetapi apabila ia memerlukan uang dalam perjalanannya, maka ia harus diberi zakat.

KEPADA SIAPA ZAKAT BOLEH DIBERIKAN DAN KEPADA SIAPA TIDAK BOLEH

Sekarang tinggal masalah, di antara delapan kelompok orang-orang yang berhak menerima zakat tersebut di atas, siapa yang harus diberi zakat dan dalam keadaan yang bagaimana, serta siapa yang tidak boleh diberi zakat dalam sesuatu keadaan. Di sini saya jelaskan perincian tentang masalah ini.

1. Tidak seorang pun boleh memberikan zakat kepada ayah atau anaknya sendiri. Juga suami tidak boleh memberikan zakat kepada isterinya, tidak pula isteri kepada suaminya. Semua ulama fiqh sependapat dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa sanak keluarga dekat yang nafkahnya menjadi tanggungan si pemberi zakat, atau yang termasuk ahli waris menurut syari'at, tidak boleh diberi zakat olehnya. Tetapi sanak-keluarga yang jauh boleh diberi, bahkan lebih berhak daripada yang lain. Tetapi Imam Auza'i mengatakan: Janganlah kamu mencari sanak keluargamu sendiri untuk menerima zakat!

2. Hanya orang Islam yang berhak menerima zakat. Orang-orang yang bukan Islam tidak berhak menerimanya. Definisi zakat sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis adalah:

"Diambil dari orang-orang yang kaya di antaramu, dan dibagikan di antara orang-orang yang miskin di antaramu".

Akan tetapi, seorang yang bukan Muslim dapat diberi sedekah dari sedekah umum. Justeru tidaklah baik membeda-bedakan antara seorang Muslim dengan bukan Muslim dalam memberikan sedekah umum. Seseorang, tidak boleh tidak, ditolong hanya karena dia bukan seorang Muslim.

3. Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad mengatakan bahwa zakat dari suatu daerah haruslah dibagikan kepada orang-orang miskin di daerah itu sendiri. Tidaklah baik untuk mengirimkan zakat dari suatu daerah ke daerah lain, kecuali apabila di daerah yang disebut pertama tidak terdapat orang-orang miskin, atau apabila didaerah lain itu terjadi bencana alam yang perlu segera mendapatkan pertolongan, seperti banjir, bahaya kelaparan dan sebagainya. Pendapat yang hampir sama dengan ini dikatakan oleh Imam Malik dan Imam Tsauri. Tetapi ini tidaklah berarti dilarang mengirimkan zakat dari satu tempat ke tempat lain.

4. Beberapa ulama yang lebih awal berpendapat bahwa zakat tidak boleh diterima oleh seseorang yang mempunyai persediaan untuk dua kali makan. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa seseorang yang mepunyai sepuluh rupee, dan menurut ulama yang lain dua belas setengah rupee, tidak boleh menerima zakat. Tetapi Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya berpendapat bahwa barangsiapa yang memiliki kurang dari lima puluh rupee dapat menerima zakat. Ini tidak termasuk harta seperti rumah, perabot rumah tangga, kenderaan dan pelayan. Artinya, sementara memiliki harta benda tersebut, ia hanya memiliki wang kurang dari lima puluh rupee, maka ia berhak menerima zakat. Dalam hal ini, hukum dan pilihan prinsip adalah masalah yang berbeda. Ada perbedaan antara keduanya. Pilihan prinsip maksudnya adalah bahwa Rasulullah mengatakan bahwa apabila seseorang yang mempunyai persediaan cukup untuk makan pagi dan petang masih juga meminta-minta sedekah, berarti dia mengumpulkan api untuk dirinya sendiri. Dalam hadis yang kedua, Rasulullah telah mengatakan: "Adalah lebih baik bila seseorang mencari kayu dan memakan hasil jualannya daripada mengemis ke sana ke mari". Dalam hadis yang ketiga dikatakan bahwa seseorang yang masih mempunyai sesuatu untuk dimakan atau cukup sebagai bekal untuk mencari rezeki tidak boleh menerima zakat. Tetapi ini adalah ajaran untuk menjaga harga diri. Mengenai hukum, perlu diterangkan di sini sampai di mana batas seseorang boleh menerima zakat. Keterangan ini terdapat dalam hadis-hadis lain, seperti, Rasulullah saw mengatakan:

"Seorang pengemis tetap mempunyai hak, walaupun ia datang kepadamu dengan mengendarai kuda".

Seseorang bertanya kepada Rasulullah: "Saya mempunyai sepuluh ringgit (coin); apakah saya miskin?" Nabi menjawab:"Ya".

Suatu ketika dua orang datang kepada Nabi dan meminta zakat. Nabi mengangkat alisnya dan mengamati mereka dengan cermat, lalu berkata:

"Kalau kamu mau mengambilnya, aku akan memberikannya kepadamu. Tetapi dalam zakat ini tidak ada bagian untuk orang yang masih kuat badannya dan masih bisa mencari penghasilan".

Dari hadis-hadis ini jelas barangsiapa memiliki uang di bawah standard nisab zakat, maka ia termasuk kategori pengemis dan dapat diberi zakat. Adalah masalah lain bahwa yang paling berhak menerima zakat adalah orang-orang yang betul-betul memerlukan.

PERLUNYA SISTEM KOLEKTIF DALAM ZAKAT

Saya telah menjelaskan perintah-perintah yang pokok tentang zakat. Tetapi di samping itu semua, ada satu hal penting yang ingin saya bawa ke dalam perhatian anda, dan yang telah dilupakan oleh kaum Muslimin sekarang ini. Hal tersebut adalah bahwa dalam Islam segala sesuatu dilakukan dengan organisasi. Islam tidak menyukai individualisme. Apabila kita menjauhkan diri dari masjid dan mengerjakan solat sendirian, maka secara formal solat kita adalah benar, tetapi syari'at menuntut bahwa solat harus dikerjakan dengan berjama’ah. Sama halnya, memang tidak salah apabila kita memberikan zakat secara sendiri-sendiri. Tetapi bagaimana pun juga harus dilakukan usaha-usaha untuk memusatkan pengumpulan zakat agar supaya pembagiannya dapat dilakukan dengan cara yang sistematik. Al-Qur'an menyebutkan tentang hal ini. Sebagai contoh:

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..." (Al-Qur'an,at-Taubah, 9:103)

Yakni, Allah memerintahkan kepada Nabi untuk mengumpulkan zakat dari kaum Muslimin. Perintahnya bukanlah agar kaum Muslimin mengambil zakat dari kekayaan mereka dan memberikannya kepada orang-orang miskin secara sendiri-sendiri. Demikian juga, dengan ditetapkannya satu bagian tertentu dalam zakat untuk orang-orang yang mengumpulkannya, dengan jelas menunjukkan cara pengelolaan zakat yang benar, hal ini adalah supaya Imam dari kaum Muslimin dapat menerima simpanan zakat itu secara teratur dan membagi-bagikannya dengan cara sistematik.

Juga, Rasulullah saw mengatakan:

"Aku telah diperintahkan untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya di antaramu dan membagi-bagikannya di antara orang-orang miskin di antaramu".

Rasulullah saw dan para khalifah penggantinya mengelola zakat menurut sistem ini. Zakat dikumpulkan oleh pegawai pemerintah Islam dan dibagi-bagikan dari pusat. Karena pada saat ini tidak ada pengaturan untuk mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya dengan cara sistematik, maka kita dapat melaksanakannya sendiri-sendiri sesuai dengan syari'at. Tetapi ummat Islam wajib memikirkannya secara kolektif untuk menerima dan membagi-bagikan zakat, karena tanpa sistem kolektif yang sistematik maka manfaat-manfaat diwajibkannya zakat akan tidak lengkap.

Monday 5 November 2018

PERINTAH INFAQ FI SABILILLAH

DUA MACAM PERINTAH UMUM DAN KHUSUS

Saudara-saudara sesama Muslim.

Allah telah merumuskan suatu peraturan dalam syari'ahNya yiaitu pertama-tama Dia memberikan petunjuk umum tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk agar orang banyak dapat menempuh jalan keredhaanNya. Setelah itu digariskan suatu bentuk jalan keredhaan yang khusus agar supaya ia dapat dilaksanakan secara khusus.

PERINTAH UMUM UNTUK MENGINGAT ALLAH

Sebagai contoh, perhatikanlah, bahwa mengingat Allah adalah suatu tindak kesalehan, bahkan merupakan kesalehan yang terbesar dan sumber perbuatan-perbuatan baik. Untuk ini ada perintah-perintah umum agar mengingat Allah setiap saat dan dalam setiap keadaan.

"...Ingatlah kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring..." (Al-Qur'an, an-Nisa', 4:103)

"...Sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya, agar kamu beruntung". (Al-Qur'an, al- Anfal, 8:45)

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Al-Qur'an, Ali 'Imran, 3:190-191)

"...Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas". (Al-Qur' an, al-Kahfi, 18:28)

Masih banyak ayat-ayat lain, di samping yang tersebut di atas, yang menyuruh untuk selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan, karena hanya dengan mengingat Allahlah yang dapat menjaga kelancaran urusan-urusan manusia dan menjaganya agar tetap berada pada jalan yang benar. Apabila manusia lalai dari mengingat Allah, maka desakan hawa nafsu dan bujukan syaitan akan mengalahkannya. Akibatnya yang tidak terelakkan ialah bahwa dengan menyeleweng dari jalan yang benar maka perbuatan-perbuatannya dalam urusan-urusan hidupnya akan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah.

PERINTAH KHUSUS UNTUK MENGINGAT ALLAH

Demikian pula halnya dengan zakat. Dalam hal ini juga ada perintah umum dan perintah khusus. Di satu pihak diperintahkan:

"Janganlah bersikap kikir dan berfikiran sempit karena itu adalah sumber kejahatan dan dosa. Kembangkanlah dalam tingkahlakumu cermin kemurahan Allah yang selalu melimpahkan rahmatNya kepada seluruh makhlukNya yang tidak terhitung banyaknya itu, walaupun tidak satu makhluk pun yang berhak menuntut kepadaNya. Belanjakanlah hartamu semampu kamu di jalan Allah. Simpanlah sebanyak yang kamu boleh untuk keperluan hidupmu, dan dari simpanan itu penuhilah keperluan hamba-hamba Allah yang miskin. Janganlah pernah mundur dari mengorbankan nyawa dan uang untuk menjunjung tinggi kalimah Allah dan memajukan agamaNya. Apabila kamu cinta kepada Allah, maka korbankanlah harta bendamu untukNya". Inilah perintah umum yang menyangkut "Infaq fi Sabilillah".

PERINTAH KHUSUS TENTANG INFAQ

Di pihak lain, ada perintah khusus bahwa apabila kita memiliki uang sampai sejumlah tertentu, maka wajiblah bagi kita untuk membelanjakan sebagian daripadanya di jalan Allah, dan apabila sawah ladang kita mengeluarkan hasil sampai ukuran tertentu, maka paling tidak sejumlah tertentu dari padanya, maka harus kita persembahkan kepada Allah. Kemudian, sebagaimana halnya dengan diwajibkannya solat, tidak berarti bahwa mengingat Allah hanya di saat mengerjakan solat itu saja. Maka demikian pula halnya dengan diwajibkannya zakat, tidaklah berarti bahwa hanya orang-orang yang mempunyai wang sejumlah besar tertentu saja yang harus membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah, sedangkan mereka yang mempunyai kurang dari itu tidak wajib mengeluarkan apa-apa. Tidak pula hal itu berarti bahwa orang-orang kaya saja wajib mengeluarkan zakat, dan setelah itu boleh saja mengusir orang minta-minta yang datang kepada mereka. Atau tidak pula berarti, apabila ada suatu keperluan agama yang memerlukan biaya, mereka boleh saja mengatakan: "Kami sudah memberikan zakat, karena itu jangan minta apa-apalagi kepada kami." Bukan begini yang dimaksudkan dengan kewajiban zakat. Sebaliknya, diwajibkannya zakat berarti bahwa paling tidak dalam keadaan bagaimanapun juga orang-orang kaya wajib membelanjakan hartanya sebesar ukuran zakat yang telah ditentukan, dan selepas dari itu setiap orang wajib membelanjakan sebanyak mungkin yang boleh diberikannya ke jalan Allah.

PENJELASAN SINGKAT TENTANG PERINTAH UMUM UNTUK BERINFAQ

Adalah menjadi ciri khas al-Qur'an bahwa apabila ia memberikan suatu perintah, ia juga menjelaskan kebijaksanaan dan tujuan yang ada di belakang perintah tersebut, sehingga mereka yang menerima ajaran tersebut mengetahui makna dan kepentingan yang sebenarnya dari ajaran tersebut serta manfaat-manfaat yang terkandung di dalamnya.

TIGA SYARAT UNTUK BISA MENEMPUH JALAN YANG LURUS

Apabila kita membuka al-Qur'an, pada surah pertama, sesudah surah pembukaan (al-Fatihah), maka ayat-ayat pertama yang kita baca adalah:

"Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan solat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:2-3)

Dalam ayat-ayat ini dinyatakan prinsip-prinsip dasar yang menyatakan bahwa agar bisa memperoleh jalan yang lurus dalam hidup di dunia ini diperlukan tiga syarat,

Pertama: Iman kepada yang ghaib.
Kedua : Mendirikan solat.
Ketiga : Membelanjakan sebagian dari harta yang diberikanNya pada jalan Allah.

Di tempat lain Allah mengatakan:

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya". (Al-Qur'an, Ali 'Imran,3:92)

Lagi Dia mengatakan:

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia..." (Al-Qur'an, al-Baqarah 2:268)

Kemudian:

"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:195)

Akhirnya, Allah mengatakan:

"...Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung".
(Al-Qur'an, al-Hasyr, 59:9)

DUA JALAN HIDUP

Dari ayat-ayat di atas jelas bagi kita bahwa ada dua jalan hidup bagi manusia di dunia ini. Yang satu adalah jalan Allah di mana ada kesalehan, kebaikan, kesejahteraan dan kejayaan. Norma yang berlaku di jalan ini adalah bahwa manusia harus bermurah hati. Di samping memenuhi keperluannya dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya, ia juga harus menolong saudara-saudaranya dan rela membelanjakan sebagian dari hartanya itu untuk menjunjung tinggi kalimah Allah. Jalan yang lain adalah jalan syaitan yang secara zahirnya menguntungkan. Tetapi sebenarnya hanya membawa kepada kehancuran. Prinsip yang berlaku di jalan syaitan ini adalah bahwa manusia mesti berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri, mesti mempertahankan hartanya mati-matian agar jangan terlepas walau satu sen pun; kalaupun harta itu mesti dikeluarkan, haruslah itu demi keuntungan peribadi atau untuk memuaskan nafsu-nafsu badan.

CARA-CARA MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

Sekarang perhatikanlah bagaimana cara-cara yang telah digariskan bagi orang-orang Islam untuk membelanjakan harta di jalan Allah, seperti yang tersebut dalam rangkaian di bawah ini:

1. Membelanjakan harta haruslah dengan tujuan mencari keredhaan Allah semata-mata

Yang pertama-tama dan yang terpenting adalah bahwa tujuan satu-satunya dalam membelanjakan harta hendaklah untuk mencari keredhaan Allah semata-mata. Membelanjakan harta tidak boleh dengan tujuan kepada kita, atau untuk mengangkat nama di masyarakat.

"...Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya". (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:272)

"Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (hati orang yang menerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah)..." (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:264)

2. Tidak boleh untuk menonjolkan kebaikan diri sendiri

Hal yang kedua adalah bahwa setelah memberikan sedekah kepada orang yang memerlukan, kita tidak boleh membebankan kewajiban apa pun kepadanya dan tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang dapat melukai hatinya.

"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan sipenerima), mereka memperolehi pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhuwatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun". (Al-Qur'an, al-Baqarah; 2:262-263)

3. Pemberian haruslah yang baik-baik

Peraturan ketiga adalah bahwa barang-barang yang diberikan di jalan Allah hendaklah yang baik. Barang-barang yang buruk tidak boleh diberikan untuk tujuan ini. Mereka yang memberikan pakaian-pakaian yang sudah usang dan lusuh kepada orang-orang miskin, atau makanan yang buruk dan sudah basi, patutlah mengharapkan pahala dengan kualiti yang sama dengan sedekahnya.

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya..." (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:267)

4. Memberi hendaklah serahsia mungkin

Peraturan keempat adalah bahwa membelanjakan harta di jalan Allah hendaklah dilakukan serahsia mungkin, sehingga tidak ternodai oleh kemunafikan dan riya. Walaupun berinfaq terang terangan tidaklah berbahaya, namun adalah jauh lebih baik hal itu dilakukan dengan diam-diam.

"Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".(Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:271)

5. Orang-orang dungu tidak boleh diberi lebih dari keperluannya

Peraturan kelima adalah bahwa orang-orang yang dungu dan naif tidak boleh diberi belanja melebihi keperluan mereka yang sebenarnya, agar mereka tidak menyelewengkan harta mereka dan terjerumus ke dalam kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Mereka hendaklah diberi sesuai dengan kedudukan mereka. Allah menghendaki agar makanan dan pakaian diterima walaupun daripada orang-orang yang paling jahat sekalipun, Tetapi tidak satu sen pun uang yang boleh diberikan untuk minum-minuman keras dan berjudi.

"Dan janganlah kamu serahkan kepada, orang-orang yang belum sempuma akalnya (dungu), harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik". (Al-Qur'an, an-Nisa', 4:5)

6. Peminjam yang mengalami kesulitan tidak boleh didesak

Peraturan keenam adalah bahwa apabila suatu pinjaman diberikan kepada seorang miskin untuk memenuhi keperluannya, maka ia tidak boleh didesak supaya mengembalikan pinjaman tersebut. Ia harus diberi waktu secukupnya untuk mengembalikan pinjamannya. Dan apabila ternyata bahwa memang dia tidak mampu mengembalikan pinjamannya dan yang pemiutang cukup kaya untuk merelakan uangnya, maka akan lebih baik hutang itu dibebaskan saja.

"Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekah kan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui"(Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:280)

7. Sederhana dalam bersedekah

Peraturan ketujuh ialah bahwa sedekah tidak boleh melampaui batas. Allah tidak menghendaki agar kita mengurangi makanan anak isteri kita dan menyedekahkan seluruh penghasilan kita. Justeru Dia menghendaki agar kita bernafkah kepada diri dan keluarga kita sendiri sebanyak yang diperlukan untuk hidup sederhana, dan memberikan sisanya ke jalan Allah.

"...Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan..." (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:219)

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan) itu di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Qur'an, al-Furqan, 25:67)

"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal". (Al-Qur'an, al-Isra',17:29)

ORANG YANG BERHAK MEMPEROLEH BANTUAN

Akhirnya, kita mesti tahu bahwa Allah telah memberikan petunjuk yang lengkap dari orang-orang yang berhak memperoleh pertolongan. Dari petunjuk ini kita bisa menemukan orang-orang mana yang berhak memperoleh pertolongan kita dan kepada siapa Allah telah memberikan bagian dari penghasilan kita:

"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan...." (Al-Qur'an, al-Isra', 17 -.26)

".... Sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya...," (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:177)

"...Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu..."(Al-Qur'an, an-Nisa', 4:36)

"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keredhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terimakasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari yang (dihari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami".(Al-Qur'an, al-Insan, 76:8-10)

"Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (orang miskin yang tidak meminta)." (Al-Qur'an, adz-Dzariyat,51:19)

"(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui". (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:273)

Thursday 1 November 2018

KEDUDUKAN ZAKAT DALAM KEHIDUPAN BERSAMA

SIFAT KEMURAHAN ALLAH

Pada beberapa tempat di dalam Qur'an Suci, ungkapan infaq fisabilillah telah dipergunakan untuk pengganti zakat dan sedekah. Ungkapan ini berarti "membelanjakan harta di jalan Allah". Di beberapa tempat yang lain dikatakan bahwa apa pun yang kita belanjakan di jalan Allah adalah merupakan pinjaman yang baik yang kita berikan kepadaNya, dan akan dibayar kembali olehNya, Ini berarti bahwa kita telah memberikan piutang kepada Allah dan Dia telah menjadi yang berhutang kepada kita. Di banyak tempat, juga dinyatakan bahwa apa pun yang kita belanjakan di jalan Allah, maka pahalanya adalah kewajiban bagi Allah dan, bahwa, Ia akan membayarnya dengan balasan yang jauh lebih banyak. Fikirkanlah hal ini baik-baik. Apakah Tuhan, Penguasa langit dan bumi itu Na'udzu billah adalah tanggungan nafkah kita? Apakah zat yang Maha Suci itu perlu berhutang kepada kita? Apakah Maharaja Diraja, Pemilik harta karun yang tidak terhingga besarnya itu, mesti mengemis kepada kita? Na'udzubillah, bagaimana bisa? Padahal, atas kemurahanNya sajalah kita bisa hidup. Rezeki pemberianNyalah yang kita makan. Apa pun yang dimiliki oleh orang-orang miskin dan orang-orang kaya diantara kita, semuanya adalah pemberianNya. Semua orang, sejak dari pengemis sampai jutawan dan hartawan, adalah tanggunganNya, sedang Dia sendiri bukanlah tanggungan siapapun. Apa perlunya Dia minta pinjaman pada kita dan menadahkan tangan kepada kita? Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa itu semua adalah demi keuntungan kita, demi kebaikan dan kepentingan kita sendiri. Namun, Dia mengatakan:

"Segala yang dikeluarkan pada jalanKu, ia merupakan piutang kepadaKu. Aku berhutang pahalanya kepadamu dan Aku menerima pahala tersebut dan sebagai kewajibanKu adalah membayarnya padamu. Apabila kamu memberikannya kepada orang-orang miskin dan melarat dalam masyarakatmu, dari mana mereka akan bisa memberikan balasan padamu? Akulah yang akan memberikannya atas nama mereka. Kamu memberikan pertolongan kepada sanak saudaramu yang miskin. Budi kebaikanmu itu bukan menjadi hutang mereka, tetapi hutangKu. Akulah yang akan membalasnya. Apa pun yang kamu berikan kepada anak-anak yatim, janda-janda, orang-orang cacat, dan musafir-musafir serta saudara-saudara sesamamu yang memperlukan pertolongan, masukkanlah perhitungannya ke dalam perkiraanKu. Tuntutan pembayaran kembalinya bukanlah atas mereka, melainkan kepadaKu. Kamu mesti memberikan bantuan pinjaman kepada saudara-saudaramu yang memerlukan, tetapi kamu tidak boleh meminta bunga dari mereka. Kamu juga jangan menekan mereka. Apabila mereka tidak bisa membayar kembali, janganlah kamu tuntut agar mereka masuk penjara. Jangan kamu sita perabot dan alat-alat rumah tangga mereka. Janganlah kamu sita rumah mereka hingga isteri dan anak-anak mereka terlantar. Yang berhutang kepadamu sebenarnya bukan mereka, melainkan Aku. Apabila mereka hanya memberikan pokok hutang mereka saja kepadamu, Akulah yang akan membayar bunganya. Kalau mereka, bahkan, tidak boleh membayar pokok hutang itu, Aku jugalah yang akan membayar pokok hutang itu berikut bunganya. Demikian pula, apa pun yang engkau belanjakan untuk usaha kesejahteraan masyarakatmu, untuk kebaikan dan perbaikan sesama manusia, maka meskipun hal itu menguntungkanmu sendiri, namun itu juga berarti hutang budi atasKu. Aku akan membayar setiap sen yang kamu keluarkan untuk itu beserta bunganya".

Inilah sifat Zat dari yang Maha Pemurah, Maharaja Diraja itu. Apa yang kita miliki seluruhnya adalah pemberian daripadaNya. Kita tidak memperolehinya dari jalan manapun juga. Selain itu kita hanya menerimanya dari perbendaharaan simpananNya. Kemudian, apa pun yang kita sedekahkan daripadanya, tidaklah kita berikan kepadaNya, melainkan kepada sanak saudara kita, anggota-anggota sesama masyarakat kita, atau kita belanjakan untuk usaha-usaha kesejahteraan bersama, yang
keuntungannya akhimya akan kembali juga kepada kita. Tetapi lihatlah Zat yang Maha Suci itu; Sehubungan dengan harta benda yang kita ambil daripadaNya dan kita berikan kepada sanak keluarga kita sendiri, Dia mengatakan:

"Kamu telah memberi kepadaKu. Akulah yang akan memberi pahalanya untukmu".

Allahu Akbar! Alangkah Maha Pemurahnya Dia. Hanya bagiNya sajalah sifat Pemurah tersebut. Hanya Maharaja yang Mutlak itu sajalah yang dapat menyatakan kemurahan yang sebesar dan setinggi itu. Tidak seorang manusia pun yang dapat, bahkan hanya sekadar, menghayati sikap yang luhur seperti itu.

MENGAPA DITANAMKAN KESADARAN TENTANG "INFAQ"?

Pada isi ini renungkanlah mengapa Allah memakai cara seperti tadi untuk membangkitkan semangat kebajikan dan dermawanan dalam diri manusia? Semakin kita berfikir tentang masalah ini, semakin kita akan memperoleh pandangan tentang sifat yang suci dari ajaran-ajaran Islam, dan hati kita akan semakin bersaksi bahwa cara penanaman kesadaran yang indah ini hanya bisa datang dari Allah saja, tidak mungkin dari yang lain.

MANUSIA DICIPTAKAN BERWATAK MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI

Kita tahu bahwa watak manusia adalah "zalim dan jahil". Persepsinya sempit. Ia tidak dapat melihat jauh ke depan. Pandangannya pendek. Idea-idea yang besar dan luhur hampir tidak bisa masuk ke dalam fikirannya. Ia diciptakan dengan sifat mementingkan diri sendiri, dan otaknya tidak dapat memikirkan konsep yang luas, walaupun yang menyangkut kepentingannya sendiri. Ia juga bertabiat tergesa-gesa.

"Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda (azab)Ku. Maka janganlah kamu minta kepadaKu mendatangkannya dengan segera". (Al-Qur'an, al-Anbiya', 21:37)

Manusia selalu ingin cepat-cepat menikmati hasil dan keuntungan dari segala sesuatu yang dikerjakannya, dan yang paling penting baginya hanyalah hasil dan keuntungan yang dapat diperolehnya dengan cepat dan dalam bentuk yang nyata, yang dapat dilihatnya. Pandangannya tidak bisa melihat hasil-hasil yang jauh. Ia hampir-hampir tidak dapat memahami keuntungan-keuntungan yang berskala besar dan kekal abadi. Dalam kebanyakan hal, manusia tidak dapat memahami potensi-potensi seperti itu. Ini adalah kelemahan manusia yang wajar, yang memaksanya untuk mencari keuntungan peribadi dalam segala sesuatu, yang berskala kecil, yang cepat diperoleh dan dapat dirasakan secara nyata. Ia mempunyai pandangan, "apa pun yang saya peroleh dengan usaha saya dan yang saya warisi dari orang tua dan nenek moyang saya adalah milik saya dan tidak seorang pun yang berhak ke atasnya. Semuanya harus dibelanjakan khusus untuk keperluan saya, atas kemauan saya, untuk kesenangan saya, dan kenikmatan jasmani saya. Atau setidak-tidaknya harus digunakan untuk mengangkat nama saya, kehormatan dan kemasyhuran saya. Saya harus mendapat gelar tertentu, dan semua orang harus tunduk kepada saya dan "saya harus dipuji orang di mana-mana. Kalau saya tidak bisa mencapai satu pun dari tujuan-tujuan ini, mengapa saya harus mengeluarkan uang saya? Kalau ada anak yatim yang hampir mati kelaparan, atau mengemis dekat rumah saya, mengapa saya mesti mempedulikannya? Ia seharusnya menuntut kepada ayahnya yang mestinya telah meninggalkan sesuatu untuk anak-anaknya atau suatu polis insurans. Kalau ada seorang janda dekat rumah saya sedang mengalami kesulitan, apa urusannya dengan saya? Suaminya seharusnya sudah melakukan sesuatu untuknya. Kalau seorang musafir tersesat jalan, apa pula urusannya dengan saya? Mengapa orang tolol itu keluar tanpa membuat persiapan sebelumnya? Kalau ada seseorang mengalami kesengsaraan, biarkan saja dia. Allah telah memberinya tangan dan kaki yang sama seperti saya. Ia harus memenuhi sendiri keperluannya. Mengapa saya harus menolongnya? Kalau saya harus membantunya, maka bantuan itu mesti dalam bentuk hutang, dan harus ada bunganya, karena wang saya bukanlah sesuatu yang tidak penting dan tidak ada gunanya. Kalau tidak saya pinjamkan, wang itu boleh saya pakai untuk membangun rumah atau membeli kereta, atau saya tanamkan pada sebuah projek yang menguntungkan. Kalau wang itu saya pinjamkan, orang yang meminjam itu juga akan memperolehi keuntungan daripadanya. Karena itu, mengapa saya tidak mengambil sebagian dari keuntungan itu?"


AKIBAT MENTALITY MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI

Seseorang yang kaya dengan mentaliti seperti yang tadi, pertama-tama ia akan bersikap seperti seekor ular yang duduk di atas tumpukan harta karunnya; dan kedua, apabila ia toh mau membelanjakan hartanya, maka hal itu dilakukannya hanyalah untuk membesarkan egonya saja. Ia tidak akan mau mengeluarkan satu sen pun dari simpanannya, dan kalau toh ia menolong seseorang, ia tidak akan melakukannya dengan ikhlas, kecuali apabila ada keuntungan baginya. Sungguh, ia hanya akan menghisap darah orang yang ditolongnya itu dan mengambil keuntungan daripadanya lebih banyak daripada yang diberikannya. Kalau ia memberikan sesuatu kepada orang yang memerlukan, maka ia akan mengganggu jiwa orang yang diberinya itu habis-habisan, dengan mengatakan bahwa ia telah berbuat kebajikan yang tidak terhitung banyaknya kepada orang tersebut, serta menghina dan merendahkannya sedemikian rupa, sehingga tidak ada sedikit pun harga diri yang tartinggal pada orang tersebut. Kalau ia ikut serta dalam sesuatu usaha nasional, maka pertama-tama ia akan melihat sejauh mana keuntungan peribadi yang akan ia peroleh daripadanya. Setiap usaha yang tidak memberikan keuntungan peribadi kepadanya maka tidak akan dapat bantuannya. Apa akibat mentaliti yang demikian ini? Akibatnya ia akan mengalami kecelakaan, tidak hanya bagi kehidupan masyarakat, tetapi pada akhirnya juga bagi kehidupan dirinya sendiri.Karena fikirannya yang sempit, ia menganggap sikapnya yang demikian itu menguntungkan. Apabila mentaliti seperti itu menguasai sekelompok manusia, maka kekayaan akan mulai terkumpul di tangan sekelompok kecil masyarakat saja, dan mengakibatkan sebagian besar anggota masyarakat kekeringan rezeki. Orang-orang kaya akan terus menngumpul kekayaan dengan jalan memainkan uangnya, dan kehidupan orang-orang yang miskin semakin hari akan menjadi semakin sukar. Suatu masyarakat yang dilanda kemiskinan akan melahirkan bermacam-macam kejahatan. Kekuatan fizikal anggota-anggotanya akan menyusut. Penyakit akan menyebar luas. Kemampuan dan produktiviti kerja akan merosot. Kebodohan akan meningkat di kalangan mereka. Moral mereka akan bertambah rusak. Mereka akan menempuh jalan kejahatan untuk memenuhi keperluannya. Akhirnya, akan tiba suatu keadaan di mana mereka akan melakukan rusuhan dan rompakan. Kerusuhan akan terjadi di mana-mana. Orang-orang kaya akan dibunuh. Rumah-rumah mereka akan dibakar dan dirampas, dan terjadilah kerusakan besar di mana-mana hingga orang-orang kaya hanya tinggal sedikit saja.

KESEJAHTERAAN INDIVIDU TERLETAK DALAM KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Apabila kita fikirkan baik-baik, maka kita akan melihat bahwa kesejahteraan tiap-tiap orang adalah terikat dan berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat lingkungannya. Apabila kita menolong saudara-saudara masyarakat kita dengan kekayaan yang kita miliki, maka keuntungannya akan berputar di antara masyarakat dan kembali kepada kita. Tetapi apabila kita kikir, kita menyimpan saja kekayaan kita atau membelanjakannya untuk keuntungan kita sendiri saja, maka kekayaan kita itu akan semakin berkurang. Sebagai contoh, apabila kita memelihara seorang anak yatim dan memberikan kepadanya pendidikan sehingga ia mampu menjadi anggota masyarakat yang produktif dan mempunyai penghasilan, hal itu berarti bahwa kita telah memberikan sumbangan kepada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan sebagai seorang anggota masyarakat tersebut, kita sendiri juga secara tidak langsung turut menikmati kesejahteraan tersebut, walaupun kita mungkin tidak merasakan langsung bahwa bagian kesejahteraan yang kita terima itu sampai kepada kita dari hasil kerja anak yatim yang telah kita tolong itu. Tetapi sebaliknya, apabila kita berfikiran sempit dan mementingkan diri sendiri dan berkata: "Mengapa saya harus menolong anak itu? Ayahnya seharusnya sudah mewariskan sesuatu untuknya", maka ia akan menjadi orang jalanan, sampah masyarakat. Ia tidak akan mampu untuk menyumbangkan sesuatu apa pun kepada kesejahteraan masyarakat dengan hasil kerjanya. Justeru tidaklah akan mengherankan jika ia menjadi penjahat profesional dan memecah rumah kita sendiri. Ini berarti bahwa dengan membiarkan seseorang anggota masyarakat menjadi orang jalanan, sampah masyarakat dan penjahat, maka hal itu tidak hanya merugikan dia, tetapi juga merugikan kita sendiri. Dengan mengambil analogi dari contoh ini, apabila kita memandang jauh ke depan, maka kita akan menyadari bahwa seseorang yang membelanjakan hartanya untuk kebaikan masyarakat, harta yang dibelanjakan tersebut akan berkembang biak dengan subur hingga akhirnya kembali kepada sumber dari mana ia datang. Sebaliknya, seseorang yang menyimpan wangnya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak membelanjakannya untuk kebaikan masyarakat, berarti menjerumuskan dirinya sendiri secara perlahan-lahan dan secara tidak langsung. Inilah rahsia yang terkandung dalam ajaran Allah berikut ini:

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah". (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:276)

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keredhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgkitakan (pahalanya). (Al- Qur'an, ar-Rum, 30:39)

Tetapi kesempitan fikiran dan kejahilan manusia, mencegahnya dari memahami kenyataan ini sehingga bartindak menuruti semangatnya saja. Ia adalah budak dari sikap materialistiknya. Ia hanya melihat uang yang bertimbun dalam simpanan uangnya. Harta yang terus bertambah dalam catatannya mengikat perhatiannya, tetapi apa yang keluar dari tangannya tidak dapat dilihatnya di mana berkembang suburya, bagaimana dan sejauh mana ia berkembang, dan apabila akan kembali kepadanya dengan keuntungan-keuntungannya. Dalam pengartiannya, apa yang sudah lepas dari tangannya berarti telah pergi untuk selamanya dan tidak akan kembali lagi kepadanya.

Sampai saat ini manusia belum mampu menembus rintangan kejahilan ini dengan kecerdasan dan usahanya sendiri. Dan keadaan ini merata di seluruh dunia. Di satu pihak terdapat kubu kapitalis di mana semua usaha perekonomian berjalan dengan sistem riba, di mana kericuhan dan kecemasan tiap hari semakin meningkat di tengah menimbunnnya harta benda. Di pihak yang lain, sekelompok manusia telah mempengaruhi sejumlah besar manusia dan mengobarkan dalam jiwa mereka api hasad dan kedengkian kepada kaum kapitalis, setia semangat untuk menghancurkan seluruh asas kebudayaan dan peradaban manusia.


PENYELESAIAN MASALAH

Dari situasi yang rumit ini, Allah yang Maha Bijaksana memberikan jalan penyelesaian dengan petunjuk yang diberikanNya dalam Kitab Suci al-Qur'an. Kepercayaan kepada Allah dan hari akhir merupakan kunci penyelesaian masalah tersebut. Apabila manusia beriman kepada Allah dan menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya dari seluruh harta benda yang tersimpan di langit dan di bumi adalah Allah, bahwa pengurusan masalah hidup manusia sebenarnya hanyalah ada di tanganNya; bahwa perhitungan urusan yang sebesar debu pun ada pada catatanNya; dan bahwa balasan akhir atas perbuatan-perbuatan baik dan buruk dari manusia akan diberikan olehNya dengan perhitungan yang mutlak, maka akan mudahlah baginya untuk mempercayakan diri kepadaNya, dan bukan kepada fikiran dan pendapatnya sendiri Tentu ia akan mau membelanjakan harta bendanya menurut arahan yang diberikan Allah dan menyerahkan soal untung rugi kepadaNya semata-mata. Apa pun yang dibelanjakan dengan keyakinan ini, sesungguhnya merupakan persembahan kepada Tuhan sendiri. Perhitungannya juga akan dimasukkan dalam catatannya. Meskipun, tidak seorang pun di dunia ini yang mengetahui perbuatan baiknya, namun Tuhan pasti mengetahuinya. Dia tidak akan menyoal apakah perbuatan baik itu ada yang siapa yang mengakuinya atau tidak, tetapi Allah tentu tahu dan mengakuinya. Dan apabila Allah telah menjanjikan pahala, Ia pasti akan memberikannya, di akhirat ataupun juga di dunia ini.