Thursday 1 November 2018

KEDUDUKAN ZAKAT DALAM KEHIDUPAN BERSAMA

SIFAT KEMURAHAN ALLAH

Pada beberapa tempat di dalam Qur'an Suci, ungkapan infaq fisabilillah telah dipergunakan untuk pengganti zakat dan sedekah. Ungkapan ini berarti "membelanjakan harta di jalan Allah". Di beberapa tempat yang lain dikatakan bahwa apa pun yang kita belanjakan di jalan Allah adalah merupakan pinjaman yang baik yang kita berikan kepadaNya, dan akan dibayar kembali olehNya, Ini berarti bahwa kita telah memberikan piutang kepada Allah dan Dia telah menjadi yang berhutang kepada kita. Di banyak tempat, juga dinyatakan bahwa apa pun yang kita belanjakan di jalan Allah, maka pahalanya adalah kewajiban bagi Allah dan, bahwa, Ia akan membayarnya dengan balasan yang jauh lebih banyak. Fikirkanlah hal ini baik-baik. Apakah Tuhan, Penguasa langit dan bumi itu Na'udzu billah adalah tanggungan nafkah kita? Apakah zat yang Maha Suci itu perlu berhutang kepada kita? Apakah Maharaja Diraja, Pemilik harta karun yang tidak terhingga besarnya itu, mesti mengemis kepada kita? Na'udzubillah, bagaimana bisa? Padahal, atas kemurahanNya sajalah kita bisa hidup. Rezeki pemberianNyalah yang kita makan. Apa pun yang dimiliki oleh orang-orang miskin dan orang-orang kaya diantara kita, semuanya adalah pemberianNya. Semua orang, sejak dari pengemis sampai jutawan dan hartawan, adalah tanggunganNya, sedang Dia sendiri bukanlah tanggungan siapapun. Apa perlunya Dia minta pinjaman pada kita dan menadahkan tangan kepada kita? Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa itu semua adalah demi keuntungan kita, demi kebaikan dan kepentingan kita sendiri. Namun, Dia mengatakan:

"Segala yang dikeluarkan pada jalanKu, ia merupakan piutang kepadaKu. Aku berhutang pahalanya kepadamu dan Aku menerima pahala tersebut dan sebagai kewajibanKu adalah membayarnya padamu. Apabila kamu memberikannya kepada orang-orang miskin dan melarat dalam masyarakatmu, dari mana mereka akan bisa memberikan balasan padamu? Akulah yang akan memberikannya atas nama mereka. Kamu memberikan pertolongan kepada sanak saudaramu yang miskin. Budi kebaikanmu itu bukan menjadi hutang mereka, tetapi hutangKu. Akulah yang akan membalasnya. Apa pun yang kamu berikan kepada anak-anak yatim, janda-janda, orang-orang cacat, dan musafir-musafir serta saudara-saudara sesamamu yang memperlukan pertolongan, masukkanlah perhitungannya ke dalam perkiraanKu. Tuntutan pembayaran kembalinya bukanlah atas mereka, melainkan kepadaKu. Kamu mesti memberikan bantuan pinjaman kepada saudara-saudaramu yang memerlukan, tetapi kamu tidak boleh meminta bunga dari mereka. Kamu juga jangan menekan mereka. Apabila mereka tidak bisa membayar kembali, janganlah kamu tuntut agar mereka masuk penjara. Jangan kamu sita perabot dan alat-alat rumah tangga mereka. Janganlah kamu sita rumah mereka hingga isteri dan anak-anak mereka terlantar. Yang berhutang kepadamu sebenarnya bukan mereka, melainkan Aku. Apabila mereka hanya memberikan pokok hutang mereka saja kepadamu, Akulah yang akan membayar bunganya. Kalau mereka, bahkan, tidak boleh membayar pokok hutang itu, Aku jugalah yang akan membayar pokok hutang itu berikut bunganya. Demikian pula, apa pun yang engkau belanjakan untuk usaha kesejahteraan masyarakatmu, untuk kebaikan dan perbaikan sesama manusia, maka meskipun hal itu menguntungkanmu sendiri, namun itu juga berarti hutang budi atasKu. Aku akan membayar setiap sen yang kamu keluarkan untuk itu beserta bunganya".

Inilah sifat Zat dari yang Maha Pemurah, Maharaja Diraja itu. Apa yang kita miliki seluruhnya adalah pemberian daripadaNya. Kita tidak memperolehinya dari jalan manapun juga. Selain itu kita hanya menerimanya dari perbendaharaan simpananNya. Kemudian, apa pun yang kita sedekahkan daripadanya, tidaklah kita berikan kepadaNya, melainkan kepada sanak saudara kita, anggota-anggota sesama masyarakat kita, atau kita belanjakan untuk usaha-usaha kesejahteraan bersama, yang
keuntungannya akhimya akan kembali juga kepada kita. Tetapi lihatlah Zat yang Maha Suci itu; Sehubungan dengan harta benda yang kita ambil daripadaNya dan kita berikan kepada sanak keluarga kita sendiri, Dia mengatakan:

"Kamu telah memberi kepadaKu. Akulah yang akan memberi pahalanya untukmu".

Allahu Akbar! Alangkah Maha Pemurahnya Dia. Hanya bagiNya sajalah sifat Pemurah tersebut. Hanya Maharaja yang Mutlak itu sajalah yang dapat menyatakan kemurahan yang sebesar dan setinggi itu. Tidak seorang manusia pun yang dapat, bahkan hanya sekadar, menghayati sikap yang luhur seperti itu.

MENGAPA DITANAMKAN KESADARAN TENTANG "INFAQ"?

Pada isi ini renungkanlah mengapa Allah memakai cara seperti tadi untuk membangkitkan semangat kebajikan dan dermawanan dalam diri manusia? Semakin kita berfikir tentang masalah ini, semakin kita akan memperoleh pandangan tentang sifat yang suci dari ajaran-ajaran Islam, dan hati kita akan semakin bersaksi bahwa cara penanaman kesadaran yang indah ini hanya bisa datang dari Allah saja, tidak mungkin dari yang lain.

MANUSIA DICIPTAKAN BERWATAK MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI

Kita tahu bahwa watak manusia adalah "zalim dan jahil". Persepsinya sempit. Ia tidak dapat melihat jauh ke depan. Pandangannya pendek. Idea-idea yang besar dan luhur hampir tidak bisa masuk ke dalam fikirannya. Ia diciptakan dengan sifat mementingkan diri sendiri, dan otaknya tidak dapat memikirkan konsep yang luas, walaupun yang menyangkut kepentingannya sendiri. Ia juga bertabiat tergesa-gesa.

"Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda (azab)Ku. Maka janganlah kamu minta kepadaKu mendatangkannya dengan segera". (Al-Qur'an, al-Anbiya', 21:37)

Manusia selalu ingin cepat-cepat menikmati hasil dan keuntungan dari segala sesuatu yang dikerjakannya, dan yang paling penting baginya hanyalah hasil dan keuntungan yang dapat diperolehnya dengan cepat dan dalam bentuk yang nyata, yang dapat dilihatnya. Pandangannya tidak bisa melihat hasil-hasil yang jauh. Ia hampir-hampir tidak dapat memahami keuntungan-keuntungan yang berskala besar dan kekal abadi. Dalam kebanyakan hal, manusia tidak dapat memahami potensi-potensi seperti itu. Ini adalah kelemahan manusia yang wajar, yang memaksanya untuk mencari keuntungan peribadi dalam segala sesuatu, yang berskala kecil, yang cepat diperoleh dan dapat dirasakan secara nyata. Ia mempunyai pandangan, "apa pun yang saya peroleh dengan usaha saya dan yang saya warisi dari orang tua dan nenek moyang saya adalah milik saya dan tidak seorang pun yang berhak ke atasnya. Semuanya harus dibelanjakan khusus untuk keperluan saya, atas kemauan saya, untuk kesenangan saya, dan kenikmatan jasmani saya. Atau setidak-tidaknya harus digunakan untuk mengangkat nama saya, kehormatan dan kemasyhuran saya. Saya harus mendapat gelar tertentu, dan semua orang harus tunduk kepada saya dan "saya harus dipuji orang di mana-mana. Kalau saya tidak bisa mencapai satu pun dari tujuan-tujuan ini, mengapa saya harus mengeluarkan uang saya? Kalau ada anak yatim yang hampir mati kelaparan, atau mengemis dekat rumah saya, mengapa saya mesti mempedulikannya? Ia seharusnya menuntut kepada ayahnya yang mestinya telah meninggalkan sesuatu untuk anak-anaknya atau suatu polis insurans. Kalau ada seorang janda dekat rumah saya sedang mengalami kesulitan, apa urusannya dengan saya? Suaminya seharusnya sudah melakukan sesuatu untuknya. Kalau seorang musafir tersesat jalan, apa pula urusannya dengan saya? Mengapa orang tolol itu keluar tanpa membuat persiapan sebelumnya? Kalau ada seseorang mengalami kesengsaraan, biarkan saja dia. Allah telah memberinya tangan dan kaki yang sama seperti saya. Ia harus memenuhi sendiri keperluannya. Mengapa saya harus menolongnya? Kalau saya harus membantunya, maka bantuan itu mesti dalam bentuk hutang, dan harus ada bunganya, karena wang saya bukanlah sesuatu yang tidak penting dan tidak ada gunanya. Kalau tidak saya pinjamkan, wang itu boleh saya pakai untuk membangun rumah atau membeli kereta, atau saya tanamkan pada sebuah projek yang menguntungkan. Kalau wang itu saya pinjamkan, orang yang meminjam itu juga akan memperolehi keuntungan daripadanya. Karena itu, mengapa saya tidak mengambil sebagian dari keuntungan itu?"


AKIBAT MENTALITY MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI

Seseorang yang kaya dengan mentaliti seperti yang tadi, pertama-tama ia akan bersikap seperti seekor ular yang duduk di atas tumpukan harta karunnya; dan kedua, apabila ia toh mau membelanjakan hartanya, maka hal itu dilakukannya hanyalah untuk membesarkan egonya saja. Ia tidak akan mau mengeluarkan satu sen pun dari simpanannya, dan kalau toh ia menolong seseorang, ia tidak akan melakukannya dengan ikhlas, kecuali apabila ada keuntungan baginya. Sungguh, ia hanya akan menghisap darah orang yang ditolongnya itu dan mengambil keuntungan daripadanya lebih banyak daripada yang diberikannya. Kalau ia memberikan sesuatu kepada orang yang memerlukan, maka ia akan mengganggu jiwa orang yang diberinya itu habis-habisan, dengan mengatakan bahwa ia telah berbuat kebajikan yang tidak terhitung banyaknya kepada orang tersebut, serta menghina dan merendahkannya sedemikian rupa, sehingga tidak ada sedikit pun harga diri yang tartinggal pada orang tersebut. Kalau ia ikut serta dalam sesuatu usaha nasional, maka pertama-tama ia akan melihat sejauh mana keuntungan peribadi yang akan ia peroleh daripadanya. Setiap usaha yang tidak memberikan keuntungan peribadi kepadanya maka tidak akan dapat bantuannya. Apa akibat mentaliti yang demikian ini? Akibatnya ia akan mengalami kecelakaan, tidak hanya bagi kehidupan masyarakat, tetapi pada akhirnya juga bagi kehidupan dirinya sendiri.Karena fikirannya yang sempit, ia menganggap sikapnya yang demikian itu menguntungkan. Apabila mentaliti seperti itu menguasai sekelompok manusia, maka kekayaan akan mulai terkumpul di tangan sekelompok kecil masyarakat saja, dan mengakibatkan sebagian besar anggota masyarakat kekeringan rezeki. Orang-orang kaya akan terus menngumpul kekayaan dengan jalan memainkan uangnya, dan kehidupan orang-orang yang miskin semakin hari akan menjadi semakin sukar. Suatu masyarakat yang dilanda kemiskinan akan melahirkan bermacam-macam kejahatan. Kekuatan fizikal anggota-anggotanya akan menyusut. Penyakit akan menyebar luas. Kemampuan dan produktiviti kerja akan merosot. Kebodohan akan meningkat di kalangan mereka. Moral mereka akan bertambah rusak. Mereka akan menempuh jalan kejahatan untuk memenuhi keperluannya. Akhirnya, akan tiba suatu keadaan di mana mereka akan melakukan rusuhan dan rompakan. Kerusuhan akan terjadi di mana-mana. Orang-orang kaya akan dibunuh. Rumah-rumah mereka akan dibakar dan dirampas, dan terjadilah kerusakan besar di mana-mana hingga orang-orang kaya hanya tinggal sedikit saja.

KESEJAHTERAAN INDIVIDU TERLETAK DALAM KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Apabila kita fikirkan baik-baik, maka kita akan melihat bahwa kesejahteraan tiap-tiap orang adalah terikat dan berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat lingkungannya. Apabila kita menolong saudara-saudara masyarakat kita dengan kekayaan yang kita miliki, maka keuntungannya akan berputar di antara masyarakat dan kembali kepada kita. Tetapi apabila kita kikir, kita menyimpan saja kekayaan kita atau membelanjakannya untuk keuntungan kita sendiri saja, maka kekayaan kita itu akan semakin berkurang. Sebagai contoh, apabila kita memelihara seorang anak yatim dan memberikan kepadanya pendidikan sehingga ia mampu menjadi anggota masyarakat yang produktif dan mempunyai penghasilan, hal itu berarti bahwa kita telah memberikan sumbangan kepada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan sebagai seorang anggota masyarakat tersebut, kita sendiri juga secara tidak langsung turut menikmati kesejahteraan tersebut, walaupun kita mungkin tidak merasakan langsung bahwa bagian kesejahteraan yang kita terima itu sampai kepada kita dari hasil kerja anak yatim yang telah kita tolong itu. Tetapi sebaliknya, apabila kita berfikiran sempit dan mementingkan diri sendiri dan berkata: "Mengapa saya harus menolong anak itu? Ayahnya seharusnya sudah mewariskan sesuatu untuknya", maka ia akan menjadi orang jalanan, sampah masyarakat. Ia tidak akan mampu untuk menyumbangkan sesuatu apa pun kepada kesejahteraan masyarakat dengan hasil kerjanya. Justeru tidaklah akan mengherankan jika ia menjadi penjahat profesional dan memecah rumah kita sendiri. Ini berarti bahwa dengan membiarkan seseorang anggota masyarakat menjadi orang jalanan, sampah masyarakat dan penjahat, maka hal itu tidak hanya merugikan dia, tetapi juga merugikan kita sendiri. Dengan mengambil analogi dari contoh ini, apabila kita memandang jauh ke depan, maka kita akan menyadari bahwa seseorang yang membelanjakan hartanya untuk kebaikan masyarakat, harta yang dibelanjakan tersebut akan berkembang biak dengan subur hingga akhirnya kembali kepada sumber dari mana ia datang. Sebaliknya, seseorang yang menyimpan wangnya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak membelanjakannya untuk kebaikan masyarakat, berarti menjerumuskan dirinya sendiri secara perlahan-lahan dan secara tidak langsung. Inilah rahsia yang terkandung dalam ajaran Allah berikut ini:

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah". (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:276)

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keredhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgkitakan (pahalanya). (Al- Qur'an, ar-Rum, 30:39)

Tetapi kesempitan fikiran dan kejahilan manusia, mencegahnya dari memahami kenyataan ini sehingga bartindak menuruti semangatnya saja. Ia adalah budak dari sikap materialistiknya. Ia hanya melihat uang yang bertimbun dalam simpanan uangnya. Harta yang terus bertambah dalam catatannya mengikat perhatiannya, tetapi apa yang keluar dari tangannya tidak dapat dilihatnya di mana berkembang suburya, bagaimana dan sejauh mana ia berkembang, dan apabila akan kembali kepadanya dengan keuntungan-keuntungannya. Dalam pengartiannya, apa yang sudah lepas dari tangannya berarti telah pergi untuk selamanya dan tidak akan kembali lagi kepadanya.

Sampai saat ini manusia belum mampu menembus rintangan kejahilan ini dengan kecerdasan dan usahanya sendiri. Dan keadaan ini merata di seluruh dunia. Di satu pihak terdapat kubu kapitalis di mana semua usaha perekonomian berjalan dengan sistem riba, di mana kericuhan dan kecemasan tiap hari semakin meningkat di tengah menimbunnnya harta benda. Di pihak yang lain, sekelompok manusia telah mempengaruhi sejumlah besar manusia dan mengobarkan dalam jiwa mereka api hasad dan kedengkian kepada kaum kapitalis, setia semangat untuk menghancurkan seluruh asas kebudayaan dan peradaban manusia.


PENYELESAIAN MASALAH

Dari situasi yang rumit ini, Allah yang Maha Bijaksana memberikan jalan penyelesaian dengan petunjuk yang diberikanNya dalam Kitab Suci al-Qur'an. Kepercayaan kepada Allah dan hari akhir merupakan kunci penyelesaian masalah tersebut. Apabila manusia beriman kepada Allah dan menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya dari seluruh harta benda yang tersimpan di langit dan di bumi adalah Allah, bahwa pengurusan masalah hidup manusia sebenarnya hanyalah ada di tanganNya; bahwa perhitungan urusan yang sebesar debu pun ada pada catatanNya; dan bahwa balasan akhir atas perbuatan-perbuatan baik dan buruk dari manusia akan diberikan olehNya dengan perhitungan yang mutlak, maka akan mudahlah baginya untuk mempercayakan diri kepadaNya, dan bukan kepada fikiran dan pendapatnya sendiri Tentu ia akan mau membelanjakan harta bendanya menurut arahan yang diberikan Allah dan menyerahkan soal untung rugi kepadaNya semata-mata. Apa pun yang dibelanjakan dengan keyakinan ini, sesungguhnya merupakan persembahan kepada Tuhan sendiri. Perhitungannya juga akan dimasukkan dalam catatannya. Meskipun, tidak seorang pun di dunia ini yang mengetahui perbuatan baiknya, namun Tuhan pasti mengetahuinya. Dia tidak akan menyoal apakah perbuatan baik itu ada yang siapa yang mengakuinya atau tidak, tetapi Allah tentu tahu dan mengakuinya. Dan apabila Allah telah menjanjikan pahala, Ia pasti akan memberikannya, di akhirat ataupun juga di dunia ini.






No comments:

Post a Comment