Thursday 31 December 2015

Perlukah Kita Merayakan Tahun Baru

Oleh : Buya Yahya
Pengasuh LPD Al-Bahjah

Suatu hari, Rasulullah Saw duduk bersama para sahabat, di situ beliau bercerita tentang hari kiamat dan yang berhubungan dengan hal tersebut. Semua sahabat terpaku dan bahkan banyak yang menangis ketika membayangkan betapa mengerikannya hari tersebut. Tiba-tiba dari orang yang hadir di situ ada yang bertanya dan berkata “Ya Rasulallah, kapan hari kiamat itu akan tiba? “ Rasulullah saw dan semua sahabat menoleh kepada orang yang bertanya dengan takjub. Rupanya orang yang bertanya tersebut adalah seorang pegunungan Arab badui yang polos. Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah pun bertanya: “ Memangnya kamu punya persiapan apa untuk menghadapi hari kiamat? ” Orang Badui itu pun terkejut dengan pertanyaan balik dari Rasulullah. Dia pun bingung akan menjawab apa, karena dia tidak punya amalan-amalan yang banyak seperti para sahabat yang lainnya, lalu dia pun menjawab : “ Ya Rasulallah, sungguh aku tidak punya persiapan apa-apa kecuali kecintaanku kepada Allah dan kepadamu Ya Rasulallah ”. Mendengar jawaban tesebut Rasulullah pun tersenyum, lalu bersabda : “anta ma’a man ahbabta..” ( Kamu akan bersama dengan orang yang kamu cintai ).
Sungguh, apa yang dikatakan Rasulullah adalah hal yang sangat membahagiakan bagi kita umat Nabi Muhammad SAW, karena dengan modal cinta kita akan bisa berkumpul bersama beliau. Lalu, apa hubungan hadist diatas dengan Tahun Baru Masehi yang akan kita hadapi ini? Sebelum kita memasuki kepada pembahasan, sungguh sangat penting bagi kita untuk mengingat firman Alloh SWT : Wa lan tardho ‘ankal yahudu wa lan nashoro hatta tattabi’a millatahum.. ” Sungguh orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridho kepadamu wahai kaum muslimin sampai kamu mengikuti agama mereka “ (Al-Baqarah : 2 Ayat 120).
Ini adalah firman Allah SWT Yang Maha Tahu tentang keadaan hamba-hamba-Nya. Jadi saat ini kalau kita lihat, banyak sudah dari kaum muslimin yang tanpa mereka sadari telah mengikuti ajaran dan cara hidup orang-orang kafir. Salah satunya contohnya adalah Perayaan Tahun Baru Masehi.
Saat ini kalau kita bertanya kepada setiap orang : “ Siapakah yang paling meramaikan tahun baru masehi? Apakah orang Nasrani, yang tahun baru tersebut merupakan hari raya mereka? Ataukah kaum muslimin, yang sebenarnya tidak punya sangkut paut apapun pada acara tersebut?” dan jawabannya adalah : “ Kaum muslimin yang paling banyak berperan pada acara tersebut ”. Artinya : Orang-orang kafir telah berhasil memasukkan budaya dan faham mereka kepada kaum muslimin dan hal itu tanpa disadari oleh kaum muslimin. Dan akibatnya adalah semakin jauhnya kaum muslimin dari agama mereka.
Pada setiap malam Tahun Baru Masehi, kita bisa melihat banyak kaum muslimin dari semua kalangan tua dan muda ikut berpartisipasi dalam meramaikan berbagai kemaksiatan yang terjadi di malam itu dari berdesakannya kaum laki laki dan perempuan yang kadang dibarengi dengan minuman keras. Dan tidak jarang diwarnai dengan bentrok di antara mereka.
Sungguh, ini adalah musibah yang sangat menyedihkan bagi kaum muslimin karena saat ini kecintaan umat sudah banyak berubah, kecintaan dan kekaguman mereka mulai berubah. Banyak anak-anak muslim yang lebih gandrung dengan cara dan budaya orang-orang kafir. Mereka tenggelam dalam lautan kelalaian, sehingga mereka pun tidak menyadari dan merasakan makna hadits “ Engkau akan dikumpulkan bersama orang yang engkau cintai ” Jika demikian, artinya ummat terpuruk.
Sungguh sangat dikhawatirkan kelak kita tidak bisa berkumpul dengan Rasulullah SAW di saat kita lebih cinta kepada tradisi yang bertentangan dengan syariat Rasulullah. Nabi SAW pernah bersabda: “ Man tasyabbaha biqoumin fa huwa minhum…” (Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia akan masuk ke dalam golongan mereka ).
Artinya, di saat kita cinta dan bangga kepada Rasulullah SAW, dan berusaha untuk membela dan mengkutinya, maka dijanjikan oleh Rasulullah SAW kelak kita akan menjadi orang yang berkumpul bersama rombongannya Rasul SAW. Akan tetapi di saat kita selalu mengikuti tradisi orang-orang kafir, berbangga gaya hidup mereka, maka tanpa kita sadari kita sudah masuk ke dalam golongan mereka dan masuk ke wilayah kemurkaan Allah SWT.
- Pantaskah sebagai bahan renungan ketika kita mengaku sebagai seorang muslim akan tetapi tradisi yang kita banggakan adalah tradisi orang kafir?
- Pantaskah ketika kita mengaku sebagai seorang muslim umat Nabi Muhammad SAW kita masih mengidola kepada musuh-musuh Nabi Muhammad SAW?
- Pernahkah kita bercita-cita agar kita bisa hidup mulia di dunia dengan membela agama Rasulullah SAW dan agar kelak bisa berkumpul bersama Rasulullah?
- Tidak malukah kita dengan para sahabat, yang masih saja menangis ketika diceritakan tentang hari kiamat, padahal amal meraka sudah sangat banyak. Apakah kita sudah lupa, bahwa ketika tahun semakin bertambah maka umur kita semakin berkurang?
- Akankah kita akan terus berbuat dosa dengan budaya tahun baru nasehi yang selalu identik dengan huru-hara dan kemaksiatan?
Wallohu a’lam bis showab…

Wednesday 30 December 2015

Bijak Dalam Memberi Nasihat 2

📝 Ust. DR Wido Supraha

📗2⃣ Siap Menerima Kritik dan Saran

Menasihati yang paling utama adalah mendahului dengan menasihati diri sendiri.

Kritik atas datang kepada diri kita hendaknya dianggap sebagai bagian dari skenario Allah untuk menasihati diri kita, sehingga posisinya menjadi sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu.

Bahkan jika tidak pernah muncul, perlu kita cari dan upayakan agar dapat hadir.

Maka sangat baik bagi seorang muslim menjadi sosok yang rindu kritik dan nasihat, dan aktif mencari dan bertanya kepada orang lain, menikmati setiap kritikan yang kita dapatkan, mensyukurinya.

Kadangkala kritikan dan nasihat yang datang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Ada kalanya isinya benar namun dengan cara yang salah.

Nikmatilah kritikan yang datang dengan tidak memotong pembicaraan, tidak berkomentar, apalagi membantah. Sementara menjadi pendengar yang baik.

Jangan lupa untuk mengucapkan terima kasih sesudahnya, dan perdalam prinsip dasarnya jika dibutuhkan sebagai bahan untuk mengevaluasi diri lebih komprehensif, dan membuat program perbaikan yang sesuai.

Jangan lupa jika telah diperbaiki untuk memberikan update kepada pemberi nasihat atau ucapan terima kasih dalam bentuk material.

Doakan ia tanpa ia ketahui untuk dapat terus menjaga kita dalam kebaikan.

Kritik adalah kunci kemajuan kita menuju kesuksesan.

Ia akan disenangi karena sentiasa berbuat kebaikan yang membuat masyarakat di sekitarnya menjadi senang dan sayang.

Ia akan disukai dan didekati karena jauh dari hal-hal yang dibenci.

Yakinlah bahwa upaya kita untuk mensyukuri setiap kritikan dan nasihat akan meningkatkan kemuliaan kita.

Mereka yang sering menganggap kritikan sebagai suatu penghinaan, hal yang menyakitkan dan merendahkan, dan menganggap pengkritik adalah musuh, adalah mereka yang nyaman berada di area comfort zone.

Jika perasaan aman dan nyaman terganggu maka akan muncul semangat perlawanan.

Tabiatnya, kritikan tidak pernah muncul pada saat yang tepat,  karena kita biasanya lebih siap untuk dipuji dibandingkan dikritik. 

Kalaulah mereka menyampaikan kritikan tidak dengan cara yang baik, maka fahamilah bahwa kita tidak berhak mengatur orang lain bertindak sesuai yang kita inginkan.

Ambillah hikmah dari setiap peristiwa.

Orang yang tidak pernah dikritik boleh jadi adalah orang yang tidak melakukan apa-apa, tidak mengatakan apa-apa, tidak akan menjadi apa-apa, dan tidak akan sukses.

Maka terimalah kritik dengan tidak membawa ke ranah pribadi, berpikirlah positif, dan terimalah dengan hati terbuka, karena yang kita tunggu-tunggu telah didatangkan Allah.

Wallahu a'lam.

Bijak dalam memberi nasihat 1


📝 Ust. DR Wido Supraha

📗1⃣ Bijak dalam Memberi Nasihat

Memberi nasihat merupakan salah satu bentuk metodologi ta’lim.

Memberi nasihat dalam rangka memperbaiki seseorang dari kesalahan (tashhih al-akhta’), adalah kewajiban muslim dan bagian dari manhaj Qur’ani.

Nasihat diberikan pada umumnya bersifat pencegahan, teguran, ataupun pelurusan terhadap suatu kesalahan.

Cara Nabi Saw. dalam memberikan nasihat adalah cara terbijak.

Memahaminya akan memberikan kesadaran atas kelemahan aturan buatan manusia, sehingga mampu menggunakan cara yang terbaik sesuai kondisi, peristiwa, dan output yang diinginkan.

Memberikan nasihat bukanlah pekerjaan sederhana, namun ia menjadi karakter dasar dalam ber-Islam.

Namun tentu dalam pelaksanaannya membutuhkan pemahaman akan prinsip-prinsip dasar.

Terutama mengikhlaskan diri hanya karena Allah dan memahami bahwa berbuat kesalahan adalah tabiat manusia.

Nasihat yang kita berikan hendaknya berdasarkan dalil syar’i dan bukti kesalahan yang dilakukan.

Semakin besar kesalahan saudara kita, tentunya semakin besar pula perhatian kita kepadanya.

Namun penting untuk membedakan antara pelaku kesalahan yang tahu bahwa ia salah dan tidak mengetahui bahwa ia salah, dan baru kemudian membedakan jenis kesalahannya, apakah menyangkut syari’at ataukah pribadi atau apakah termasuk dosa besar ataukah dosa kecil.

Mengetahui maksud baik dari kesalahan yang dibuat seseorang jangan sampai menghalangi upaya kita untuk meluruskannya.

Di dalam memberikan nasihat kita harus adil dan tidak memilih-milih dalam hal menegur satu jenis kesalahan yang sama, namun begitu perlu diperhatikan cara yang digunakan agar tidak menyebabkan kesalahan yang lebih besar.

Dalam hal ini kita pun perlu membedakan antara orang yang bersalah namun memiliki segudang kebaikan sebelumnya, dengan orang yang memang ahli maksiat, dan membedakan antara orang yang melakukan kesalahan berkali-kali dengan orang-orang yang baru sekali melakukannya, atau orang yang melakukan kesalahan secara berturut-turut dengan orang yang jarang melakukannya, atau bahkan membedakan antara orang yang melakukan kesalahan secara terang-terangan dengan orang yang melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Tentunya kekuatan internalisasi agama seseorang mempengaruhi seberapa besar upaya kita untuk meluluhkan hatinya.

Nasihat yang baik adalah nasihat yang dilakukan tanpa membuka aibnya ke publik.

Tatkala memberi nasihat kita harus mempertimbangkan kedudukan dan posisi seseorang.

Menasihati orang yang lebih tua, tentu berbeda dengan menasihati anak kecil yang juga memiliki perbedaan psikologis dalam setiap jenjang usianya.

Menasihati lawan jenis yang bukan mahram pun membutuhkan kehati-hatian.

Upaya kita dalam meluruskan berbagai kesalahan dan memperbaiki dampaknya jangan sampai melupakan kita untuk memberikan terapi atas pokok kesalahannya.

Maka diperlukan kiat-kiat dalam memperbaikinya, di antaranya tidak mengada-ada dalam membuktikan suatu kesalahan, atau tidak perlu memaksa untuk mendapat pengakuan dari pelaku kesalahan atas kesalahannya.

Kita perlu memberi waktu yang cukup baginya untuk memperbaiki diri, dan tidak mengesankan bahwa ia adalah ‘musuh’.

Nabi kita yang mulia memberikan banyak teladan dalam hal memberikan nasihat ini, seperti bersegera setelah melihat suatu kesalahan dan menjelaskan hukumnya dengan jelas, dan berkonsentrasi pada prinsip dasar yang dilanggar, baru kemudian pemahaman akan prinsip tersebut yang diluruskan, dan melanjutkan terapinya dengan mengulang-ulang dalam beberapa kesempatan.

Beliau pun membimbing ke arah pencegahan terjadinya kesalahan.

Untuk hal-hal yang terkait dengan hubungan sesama manusia, Nabi Saw mendesak pelaku kesalahan untuk bersegera meminta maaf, dan mengingatkan keutamaan orang yang diperlakukan salah.

📗2⃣ Siap Menerima Kritik dan Saran

🔹Bersambung🔹

Monday 28 December 2015

Tadabur Surat Al-Qalam


📝 Dr. Saiful Bahri, M.A

📋 QS. Al-Qalam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚Mukaddimah: Sebuah Dukungan Rabbani

Surat al-Qalam termasuk surat yang pertama-tama diturunkan Allah di Makkah; menurut sebagian ahli tafsir diturunkan setelah surat al-’Alaq.

Saat Nabi Muhammad saw berdakwah, respon yang beliau terima dari kaumnya sangat mengecewakan. Bahkan lebih merupakan teror-teror psikis dan tak jarang juga terror fisik beliau terima, juga orang-orang yang mengikuti dakwah beliau.

Salah satu teror psikis yang beliau terima adalah stempel ”gila” yang diberikan kepada beliau. Padahal sebelum itu kaumnya sendiri yang menyematkan julukan ”al-Amin (yang terpercaya)” kepada beliau. Kini semua berbalik. Beliau dicap sebagai orang yang gila harta dan jabatan. Bahkan sebagian benar-benar menuduh gila dalam artian yang sebenarnya.

📌Dan Allah lah yang kemudian menjawab segala tuduhan di atas. “Dan sesunguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS. 68: 4)

Dukungan spiritual ini diberikan saat kaumnya menganggapnya gila ketika beliau menyampaikan risalah-Nya. Bahwa Allah juga tak henti-hentinya memberikan dukungan serta menjanjikan pahala yang tak putus-putus atas kesabaran yang ekstra dalam menghadapi kaumnya.

📌Sejenak kita tilik gaya bahasa yang dipakai al-Qur’an. ”la‘alâ khuluqin ’azhîm” pada ayat keempat, digunakan kata ”’alâ” (di atas) bukan dengan kata ”fî” (dalam). Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad saw memang berada di atas standar akhlak dan budi pekerti manusia pada umumnya.

Ketika beliau mendakwahi para pemuka kaumnya, Quraisy; saat itu Abdullah bin Ummi Maktum ra. -yang buta- masuk ke tempat tersebut. Seketika raut muka Rasulullah berubah sedikit muram, berubah masam. Beliau tak mengatakan apa-apa, memarahi, menghardik atau menegurnya. Hanya saja air wajah beliau menunjukkan agak terganggu dengan kehadiran Abdullah tersebut.

📌 Seketika Allah menegur beliau “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?”. (QS. `Abasa: 1-4)

Barangkali bagi orang biasa, hanya bermuka masam seperti di atas mungkin belum terlalu dianggap kurang baik. Namun, kebersihan diri beliau serta pengawasan Allah lah yang menjadikan standar akhlak beliau memang benar-benar mulia. Di atas standar akhlak manusia biasa. Di atas akhlak orang yang paling mulia sekalipun, yang pada waktu itu ada dalam suku Quraisy atau suku-suku lain yang ada disekitarnya. Bahkan paling mulia di antara sekian makhluk Allah yang pernah ada dan yang akan ada.

🔹Karena itu, tak ada alasan bagi Nabi Muhammad saw untuk larut dalam kesedihan memikirkan cemoohan dan berbagai teror dari kaumnya. Dan yang terbaik adalah meneruskan dakwah ini kepada kaumnya. ”Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat. Siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. 68: 5-7). Karena terkadang orang gila tak merasa bahwa dirinya adalah orang gila. Dan ketika mereka sadar, keterlambatan itu sudah tiada berguna lagi untuk menghindarkan mereka dari siksaan Allah yang Maha Pedih.

📚Para Pendusta dan Pencela Nabi Muhammad saw

📌”Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.  Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.  Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya. Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kam, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang terdahulu”. Kelak akan kami beri tanda dia di belalai(nya)”. (QS. 68: 8-16)

🔹Ada perbedaan ahli tafsir, siapa yang dimaksud Allah dalam ayat ini. Karena ayat 10-16 diturunkan untuk menyindir seseorang. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan beberapa riwayat [1]. Sebagian mufassirin berpendapat ayat-ayat ini diturunkan Allah untuk menyindir al-Walid bin Mughiroh [2], sebagian lagi berpendapat: al-Akhnas bin Syuraiq, atau al-Aswad bin Abdi Yaghuts.

Allah melarang mengikuti mereka (orang-orang kafir Quraisy). Orang-orang kafir dan mereka yang mencaci Rasulullah saw. Larangan ini semula diperuntukkan kepada Nabi Muhammad saw, namun ditujukan pula kepada kita, sebagai umat yang mengikuti ajaran yang beliau bawa.

🔹Sifat pertama yang ditunjukkan Allah dalam ayat ini adalah “mendustakan”.  Mendustakan ayat-ayat-Nya, para utusannya, meskipun sebelumnya mereka dikenal kaumnya sebagai orang terpercaya lagi baik budinya. Ciri-ciri inilah yang memasukkan kaum Ad dan Tsamud serta Ashabu Madyan, dan Rass ke dalam kategori orang-orang yang kafir. Pembangkang serta memusuhi kekasih Allah. Dan pada gilirannya Allah menghancurkan mereka dengan tentara-tentara Allah. Angin topan yang menggulung kesombongan mereka. Menghabiskan kedustaan yang mereka lakukan kepada Allah dan para Rasul-nya

Mereka ingin dihargai sementara mereka tiada mau menghargai orang lain. Ingin diperlakukan dengan lunak dan lemah lembut, sementara mereka tidaklah demikian.

🔹Diantara sifat al-Walid yang menonjol adalah banyak bersumpah. Namun sering ia langgar sendiri. Sungguh hina orang-orang yang mempermainkan sumpahnya. Selain itu suka mencela dan mencaci, menebar fitnah, menjadi provokator dan menghalangi kebaikan. Kasar dan sudah terlanjur dikenal keculasan dan kejahatannya. Padahal ia memiliki banyak anak dan harta. Tapi sekali-kali ia tak pernah insyaf dan bertaubat kepada Allah.

Di akhir peringatan ini Allah memberitahukan lagi salah satu ciri mereka. Yaitu mereka akan mengatakan kepada setiap orang yang mengajak mereka kepada kebaikan. “Itu hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu”. Mungkin kalau bahasa kita, setelah kita memperingatkan atau mengajak pada sesuatu yang ma`ruf. Mereka akan mengangganya ”lagu lama” yang disamakan dengan dongeng-dongeng serta cerita rakyat yang penuh mitos.

Mereka sudah terlebih dahulu mengklaim sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah. Padahal mereka tak mengetahui apa pun tentangnya. Bagaimana mungkin mereka akan menerimanya.

🔹Allah akan menghinakannya juga kuffar Quraisy itu dengan memberi tanda khusus di hidung mereka [3]. Sebagai tanda kebohongan dan kedustaan mereka. Menghinakan mereka sebagaimana mereka menghinakan ayat-ayat Allah dan para Rasul-Nya.

Al-Qur`an menggambarkannya dengan kata-kata “belalai”. Kata-belalai sebagaimana lazimnya tak dipakai kecuali untuk binatang. Bukan untuk manusia. Tentunya hal tersebut dimaksudkan untuk semakin menghinakan serta menurunkan derajatnya sebagai manusia. Mereka sama dengan binatang. Bahkan lebih rendah darinya. Karena mereka mempunyai akal. Namun tak mereka gunakan untuk menerima dan memikirkan ayat-ayat Allah.

📚Kisah Para Pemilik Kebun

Dalam surat ini ada kandungan kisah tentang para pemilik kebun. Allah menurunkan adzab kepada mereka, dalam rangka memberi mukaddimah ancaman kepada para pencela dan pengejek Rasulullah saw. Jika mereka mengetahui atau setidaknya merasakan penyesalan dan kepedihan serta keputusasaan dalam kisah ini tentu mereka akan takut ditimpa dengan adzab yang lebih pedih dari itu, adzab akhirat.

📌Siapakah para pemilik kebun yang dimaksud dalam ayat-ayat ini ?[4]

Dikabarkan, mereka telah membagi-bagi dan mengkaplingkan hasil kebun mereka yang akan akan mereka tuai esoknya. Mereka memastikannya, bahkan telah bersumpah. Hasilnya untuk keperluan ini dan untuk keperluan itu.. Mereka sama sekali tak menyisakan bagian untuk kaum dhu`afa dan fakir miskin. Mereka juga sombong. Seolah merekalah yang memutuskan segalanya. Yang menjamin kelangsungan hidup hari esok. Sehingga mereka melupakan Allah. Tiada mensyukuri nikmat-Nya. Tak menyebutnya sama sekali. Bahkan mereka tak mau untuk sekedar mengatakan: “Insya Allah ”.

📌Adapun penafsiran ayat ke 18 memang berbeda-beda. Jika konteksnya berhubungan dengan kepercayaan pada Allah dan pemastian pembagian hasil kebun. Maka lebih pas untuk diartikan dengan “tidak mengatakan Insya Allah ”. Namun, jika konteksnya adalah amal kemanusiaan yang berhubungan dengan hak fakir miskin. Maka bisa diartikan,”Mereka tak memberikan bagian dari hasil tersebut serta menyisakannya untuk fakir miskin”. Padahal para pendahulu mereka, kakek dan bapak mereka mendermakan sebagian harta hasil dari perkebunan tersebut kepada fakir miskin. Sementara mereka mempunyai karakter yang sebaliknya, bakhil. Sangat memusuhi hati nurani kemanusiaan.

Penggambaran kebakhilan mereka terlihat dari ayat 24. Dimulai ketika mereka bangun dari tidur di waktu shubuh, mereka bergegas saling membangunkan, serta saling memanggil dan mengingatkan. Kemudian bertolak ke kebun mereka dengan diam-diam dan mengendap-endap dengan tujuan agar fakir miskin yang ada di kampung mereka tak mengetahuinya. Kemudian dikhawatirkan mereka meminta bagian dari hasil kebun tersebut.

🔹Mereka tak mengetahui keadaan sesungguhnya. Mereka tak menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi pada kebun-kebun mereka. Mereka tak mengetahui apa yang Allah perbuat terhadap kebun mereka ketika mereka terlelap dalam tidur ketamakan semalaman. Ketika mereka mendekat, melihat dengan kedua mata mereka sendiri. Keadaan kebun-kebun mereka sungguh jauh di luar dugaan dan penggambaran mereka. Kebun-kebun mereka menghitam pekat. Sehitam hati mereka yang tetutupi hawa nafsu, cinta dunia dan kebakhilan sehingga menghalangi rasa kemanusiaan mereka.

Lenyaplah ribuan angan mereka. Hilanglah pembagian penghasilan yang mereka rancang sebelumnya. Terbanglah bayangan-banyangan kesenangan dunia.

Apakah mereka tak merasakan kesengsaraan serta penderitaan fakir miskin yang tak mendapat uluran kasih sayang dan bantuan dari mereka? Mereka telah menghalangi fakir miskin dari mendapatkan haknya dari harta mereka, padahal mereka mampu dan sanggup melakukannya.

Kemudian, ada seseorang yang masih mempunyai pemikiran baik diantara mereka mengingatkan. Bukankah aku telah mengatakan, sebaiknya kalian bertasbih kepada Tuhan kalian.

🔹Peringatan, ajakan bertasbih ini. Tentulah sangat baik. Akan tetapi mereka mengucapkannya dengan bibir-bibir kering. Dengan keputusasaan. Dengan tertutupnya hati. Merekapun bertasbih. Namun, tak mengetahui hakikat makna dan kandungan tasbih tersebut. Hal ini terbukti dan terlihat dari fenomena permusuhan di antara mereka setelah itu. Mereka saling mencela. Saling menyalahkan di antara sesama mereka. Tiada menerima yang Allah cobakan kepada mereka

🔹Penyesalan. Ribuan penyesalan. Bahkan tiada terhitung penyesalan yang mereka keluhkan. Mereka mengakui kelemahan dan kezhaliman mereka. Namun, penyesalan ini tidaklah sanggup mengembalikan kebun mereka kembali menghijau seketika itu. Kembali menjanjikan hasil dunia yang menggiurkan dan melenakan mereka.

Jika mereka benar-benar menyesalinya. Dan penyesalan seperti ini ketika masih ada kesempatan memperbaikinya. Tentul Allah akan menerimanya. Menerima taubat yang sungguh-sungguh dari hamba-hambaNya.

Namun, bukan penyesalan mereka. Penyesalan orang-orang kafir, para pencela Rasulullah. Penyesalan yang kelak baru mereka rasakan ketika adzab akhirat melucuti tubuh dan perasaan mereka. Jika mereka mengetahui dan menyelami kisah pemilik-pemilik kebun tersebut. Sungguh mereka akan cepat-cepat bertaubat dan memperbaiki diri. Dan barang siapa yang tidak mengetahuinya, ketahuilah bahwa adzab akhirat sangatlah pedih. Melebihi pedihnya adzab dan cobaan dunia. Tak terbayangkan oleh siapapun yang ada di dunia ini. Hanya Allah saja yang mengetahui kedahsyatannya.

🔹Lihatlah akhir hidup Abu Jahal, seorang penjahat kelas kakap yang terbunuh dalam Perang Badar di tangan dua orang anak kecil, Muadz dan Muawidz  [5]. Lihat pula al-Walid bin Mughiroh. Justru anaknya Khalid bin Walid menjadi panglima besar Islam  juga saudara-saudaranya, membela dakwah Rasulullah. Maka yang demikian itu sangat menghinakan mereka.

📚Kabar Gembira

📌Dan sebaliknya Allah memberikan kabar gembira untuk orang-orang yang mau mengikuti risalah Rasulullah saw. ”Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (QS. 68: 34-35)

Tentu saja Allah tak menyamakan kedua golongan yang sangat jauh perbedaannya. Masing-masing telah Dia sediakan balasan yang setimpal sesuai dengan amal dan perbuatannya. Masing-masing dari manusia telah diberi kebebasan memilih jalan masing-masing. Hanya saja ia mesti mempertanggungjawabkan pilihannya kelak. Maka jika demikian halnya. Orang-orang yang bertakwa mengikuti jejak para Nabi Allah. Jejak yang jelas ujungnya, meski banyak duri serta cobaan berada disepanjang jalan pilihan tersebut.

📌Tunggulah sampai datang hari yang dijanjikan itu. ”Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa”. (QS. 68: 42)

Pada waktu itu orang-orang yang sombong tersebut dipanggil satu persatu. Mereka diinstruksikan untuk bersujud di hadapan Allah. Mereka pun tak kuasa melakukannya. Karena mereka tak pernah melakukannya di dunia. Atau jika melakukannya, hanya karena mereka terjangkit split personality. Hipokrit dan munafik, untuk meraup keuntungan dunia semata. Hari itu keadaan sesungguhnya menjadi nyata. Pamrih sesungguhnya dari apa yang ia lakukan menjadi jelas terlihat. Karena hati mereka tertutup oleh dunia dan segala kesenangannya.

🔹Sujud merupakan suatu pekerjaan yang berat bagi hati yang tak khusyuk. Bagi hati yang keras. Hati yang dipenuhi oleh gengsi kedudukan dan status sosial. Sujud akan mudah dilakukan oleh hati yang lembut. Hati yang tunduk, khusyuk dengan penuh pengakuan di depan kebesaran yang Maha Hidup dan Mencipta kehidupan. Sehingga sujud merupakan wirid harian yang menjadi obat kegundahan dan kegelisahan menghadapi berbagai permasalahan dunia.

Hari itu mereka benar-benar ingin melakukannya. Namun mereka tak sanggup melakukannya. Sementara ketika mereka berada dalam kelapangan dan dalam keadaan yang sejahtera, mereka menolak ketika diseru untuk bersujud. Namun mereka cepat mengambil keputusan untuk menolak ajakan tersebut dan memutuskan sekali lagi untuk tidak akan melakukannya. Maka orang-orang yang berkelakuan demikian –kata Allah- serahkan saja segala urusannya kepada-Nya. Hanya Allah yang mampu memperlakukan mereka sesuai perbuatan yang mereka lakukan.

📚Wasiat Sakti

Tetaplah bersabar. Demikian Allah mewasiatkan kepada Nabi-Nya yang mulia Muhammad saw. Sebuah wasiat yang menjadi senjata pamungkas dalam menghadapi kelakuan orang-orang yang memusuhi dakwahnya.

Sabar dengan ketetapan Allah. Sabar untuk terus mendakwahkan kebenaran yang telah diyakini sebagai jalan benar. Sebagai pilihan yang tepat. Dan akan dipertanggungjawabkan. Serta janji Allah berupa balasan kemuliaan.

📌Allah menceritakan kisah pendahulu Nabi Muhammad ketika menghadapi kaumnya. Dikisahkan, Yunus bin Matta as diutus Allah ke daerah bernama Naynawa. Beliau mengajak kaumnya untuk menyembah Allah. Akan tetapi kaumnya membangkang dan bersikeras untuk tetap menjauhi ajakan Nabi Yunus as. Mereka memilih jalan kekafiran sebagai respon negatif terhadap dakwah Nabi Yunus. Yunus pun marah dan bermaksud meninggalkan kaumnya. Setelah beliau mengancam dengan turunnya adzab Allah kepada mereka. Sepeninggal Nabi Yunus dari kaumnya. Tanda-tanda ancaman siksa dari Allah terlihat oleh mereka. Mereka pun sadar dan meyakini kebenaran ajakan Nabi Yunus. Bertaubatlah mereka. Keluarlah mereka berbondong-bondong ke sebuah tanah lapang di padang pasir yang luas. Anak-anak mereka, Istri-istri mereka, yang tua dan yang muda serta dengan binatang peliharaan mereka. Semuanya bermunajat dengan khusyuk kepada Allah memohon ampunan dan agar adzab tersebut tak diturunkan kepada mereka. Sedangkan Yunus, telah pergi jauh meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Allah memuat cerita Yunus lebih terperinci dalam surat Ash Shaffât dari ayat 139 – 148.

Kesalahan yang dilakukan Nabi Yunus as adalah meninggalkan kaumnya. Meninggalkan tanggungjawabnya. Padahal kaumnya telah bertaubat dan hidup dalam keadaan mengimani dakwah yang ia serukan selama ini. Hanya saja beliau agak terburu-buru. Meninggalkan kaumnya dengan ancaman siksa Allah. Namun, Allah mengampuni mereka setelah semua bermunajat dengan sungguh-sungguh kepada-Nya.

🔹Pelajaran kesabaran lah yang dimaksudkan di sini. Untuk menghadapi tingkah laku kaum yang tidak mengindahkan seruan dakwah. Bahkan melecehkannya. Hanya bersabar. Sampai datang keputusan dari Allah.

📌Ketika dalam perut ikan –menurut riwayat Auf al-A’raby sebagaimana dinukil Ibnu Katsir dalam tafsir Al Anbiya’ ayat 87-88- Yunus mengira bahwa dirinya telah mati. Kemudian ia menggerak-gerakkan kakinya. Kemudian bersujud seraya membisikkan dengan lemah “Ya Allah aku menjadikan tempat ini sebagai tempat sujud yang belum pernah dicapai seorang pun”. Dan beliau pun bertasbih kepada Tuhannya.

Tasbih yang diucapkan dan dimunajatkan oleh Yunus adalah tasbih khusyuk dan penuh tadharru’. Penuh ketenangan dan pengakuan akan kelemahan dan kezhaliman diri. Sehingga rintihan lemah ini di dengar oleh para malaikat-Nya. Sehingga Allah pun menitahkan pada ikan yang menelannya untuk memuntahkan kembali Yunus. Yunus pun selamat dan kembali ke kaumnya setelah bertaubat.

📌Berbeda dengan tasbih para pemilik kebun ketika salah seorang terbaik mereka menyeru untuk bertasbih. Mereka pun segera bertasbih. Namun, hanya menjadi hiasan bibir belaka. Ketidakikhlasan mereka terlihat, ketika masih ada kedengkian diantara mereka. Mereka saling mencaci sesamanya.

Tasbih sendiri mempunyai makna yang dalam, sehingga mempunyai pengaruh bila seseorang mengucapkannya dengan penuh penghayatan. “Maha Suci Engkau Wahai Allah, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim”.

🔹Bagian pertama tasbih ini, mensucikan Allah dari segala kekurangan dan hal-hal yang tak layak bagi Tuhan dengan segala kebesaran-Nya. Kemudian bagian kedua menegaskan kelemahan diri dan kesalahan yang dilakukan dengan mengakui kezhaliman yang telah diperbuat.

🔹Dua komponen ini merupakan bentuk penyesalan yang sempurna. Penyesalan yang diikuti keinginan untuk memperbaiki diri. Dan untuk memperbaiki diri tersebut kita memerlukan bantuan dari Allah. Minimalnya, bantuan netralisir kesalahan. Dengan menurunkan ampunan-Nya kepada kita atas segala kesalahan yang telah kita lakukan.

Inilah yang dilakukan kekasihnya dalam kegelapan lapis tiga. Dan sanggup menerobos sampai kelangit berlapis tujuh. Didengar oleh semua penduduk langit. Meski dengan suara yang sangat lemah dan pelan. Namun, terdengar sangat jelas. Jelas, karena mengakui kemahasucian Allah. Dan Allah memasukkan Yunus kedalam golongan hamba-hambaNya yang salih.

📚Ikhtitam: Berbahagialah yang Berani Mengambil Jalan Rasulullah

Ketika Nabi Muhammad saw. menyampaikan ayat-ayat Allah, orang-orang kafir mencibir dan melecehkannya. Bahkan, menganggap Muhammad telah benar-benar gila. Karena mereka tak mau menggunakan hati nurani untuk menerima ayat-ayat Allah.

📌Ketahuilah bahwa Al-Qur’an tak lain hanya merupakan peringatan bagi semua umat yang ada. Dan tugas Nabi Muhammad, juga tugas para penerusnya, para da’i hanya sekedar mengingatkan kaumnya. Mengingatkan umat yang diserunya untuk mengikuti dan memahami ayat-ayat tersebut. Hanya menyampaikan peringatan ini.

📌Jika mereka mencibirnya. Maka bersabarlah. Ketahuilah bahwa para pendahulu kita juga mendapat perlakuan yang tak jauh beda dari keumnya ketika mereka menyampaikan ayat-ayat yang mereka bawa dari Tuhan mereka.

Hanya menyampaikan dan telah kita sampaikan. Maka Allahlah yang menentukan. Memberi hidayah kepada mereka atau membiarkan mereka dalam kesesatan karena mereka telah memilihnya demikian. WalLâhu a’lam.

————————————————————
([1]) Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Bârî bi syarhi Shahih al-Bukhari, Cairo: Darul Hadits, Cet. I, 1998 M-1419 H Vol. VIII, hal. 815.

([2]) Ini pendapat jumhur ulama, seperti dikuatkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, Cet. 2002 M – 1423 H, Vol. IX, hal. 451. Juga dalam tesis Magister penulis, Kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’u al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an li al-Ma’iny, Cairo: Universitas Al-Azhar-Jurusan Tafsir, 2006 M – 1427 H, Vol.II, hal. 685

([3]) lihat dalam ayat 16.

([4]) menurut riwayat Imam Ibnu Jarir at-Thabary dan Ibnu Mundzir mereka adalah sekelompok orang di negeri Yaman. Ini yang dirajihkan Imam Ibnu Katsir dalam Qashashul Qur’annyanyanya juga dipakai oleh jumhur mufassirin. Ada sebagian ahli tafsir yang meriwayatkan mereka berasal dari Habasyah (Etiophia)

([5]) Sebenarnya Abdullah bin Mas’ud lah yang berniat membunuh Abu Jahal. Tapi dua anak kecil tersebut mendahuluinya. Seperti yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam Jami’ Shahihnyanyanya hadits ke-3962 (lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bârî, Ibid. Vol.VII, hal. 361).

Thursday 17 December 2015

LUKISAN KEHIDUPAN


Ustad. Abdullah Haidir Lc.

📋 LUKISAN KEHIDUPAN

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Kita tentu pernah melihat sebuah lukisan yang indah, katakanlah tentang lukisan sebuah pemandangan.

Sering kita terkesima dan terpana dengan lukisan seperti itu, komentar-komentar takjub dan apresiasi positif reflek terlontar dari mulut-mulut kita.

Tapi yang patut kita sadari adalah bahwa sesungguhnya yang membuat menarik bukan sekedar pemandangannya, tetapi kemampuan orang yang melukiskannya.

Dengan objek pemandangan yang sama, jika dilukis oleh orang yang bukan ahlinya, tentu akan berbeda pula sikap dan apresiasi kita terhadap lukisan tersebut.

Kehidupan kita ini, pada dasarnya merupakan ‘pemandangan’ yang akan terekam bak sebuah lukisan.

Bolehlah hal tersebut kita katakan sebagai ‘Lukisan Kehidupan’. Dan kitalah yang telah Allah tetapkan untuk menjadi pelukis bagi kehidupan kita sendiri.

Maka, langkah kaki, lenggang tangan, lidah yang terucap, sejurus pandangan mata, pendengaran telinga dan gerak semua organ tubuh kita, tak ubahnya bagaikan kuas yang sedang menari-nari di atas kanvas kehidupan.

Itulah arti dari hari-hari yang kita lalui dalam kehidupan ini.

Oleh karena itu, kini masalahnya bukan lagi apakah kita seorang maestro pelukis terkenal macam Picasso dan Afandi atau bukan, tetapi adalah bahwa -suka atau tidak suka- hasil ‘lukisan’ kita pada akhirnya akan dilihat dan dinilai orang.

Kesadaran tersebut jelas akan mendorong naluri kita untuk berkata bahwa ‘lukisan kehidupan’ saya harus terlihat indah dipandang.

Dan selama kesempatan melukis itu masih diberikan, kita masih diberi kebebasan berekspresi untuk memperindah lukisan kehidupan kita, meluruskan guratan-guratan yang kurang harmonis, memperjelas sapuan warna yang buram, mengarahkan segmen gambar yang tak terarah, dst.

Hingga akhirnya, ketika mata ini terpejam dan nafas terakhir telah dihembuskan, itulah saatnya lukisan kita telah usai lalu dibingkai, dan kemudian siap dipajang di ‘ruang depan rumah kita’.

Ketika itu pula kita tinggal menunggu bagaimana komentar orang-orang yang melihat lukisan kita yang secara refleks –tanpa basa basi dan formalitas- akan terlontar dari mulut-mulut mereka.

Bagaimana reaksi dan apresiasi yang akan mereka berikan, tentu sangat tergantung dengan kualitas lukisan yang terpampang.. Di situlah salah satu parameter kehidupan kita sedang ditentukan.

Suatu saat para shahabat melihat jenazah yang sedang digotong, lalu mereka memuji kebaikannya, maka Rasulullah saw bersabda, ‘pasti.’

Kemudian lewat lagi jenazah yang lain, lalu mereka menyebut-nyebut keburukannya, Beliau bersabda, ‘Pasti.’

Umar bin Khattab bertanya, ‘Apanya yang pasti wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, “Yang kalian sebutkan kebaikannya, pasti masuk surga, sedangkan yang kalian sebutkan keburukannya pasti masuk neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi ini.” (Muttafaq alaih)

Seorang penyair berkata,

إنما المرء حديث من بعده
فكن حديثا حسنا لمن وعى

Innamal mar’u hadiitsu man ba’dahu
Fa kun hadiitsan hasanan liman wa’aa

Seseorang akan menjadi pembicaraan orang-orang sesudahnya.

Maka jadilah bahan pembicaraan yang baik bagi orang yang mendengarnya.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

Wednesday 16 December 2015

KEJUJURAN


📚 TAZKIYATUN NAFS

Ustad Dr. Abas Mansur Tamam

📋 KEJUJURAN

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Kejujuran merupakan anak kandung dari iman.
Itu sebabnya salah satu ciri orang munafik adalah suka berbohong ketika berbicara.

Sedangkan orang beriman meskipun ia belum bisa menghilangkan sebagian sifat buruk, seperti pelit atau penakut, tetapi tidak boleh memiliki sifat pembohong.

Di bawah ini ayat Alquran dan hadis yang mengajarkan sifat kejujuran.

1⃣ Ayat Alquran

QS Al-Baqarah [2]: 42 Allah Swt. berfirman:

وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ (البقرة [2]: 42)

Artinya: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil, dan janganlah kamu menyembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui” (Al-Baqarah [2]: 42).

Ayat di atas mengajarkan akhlak kejujuran.

Kejujuran akan berdampak baik dalam kehidupan bermasyarakat, karena orang-orang akan menyukainya sebagai orang yang jujur.

Kejujuran juga akan berdampak baik dalam kehidupan beragamanya, karena akan membuatnya bersikap terbuka dengan kebenaran, mau menerima serta melaksanakan kebenaran.

Dan ketika ajaran-ajaran Islam semuanya merupakan kebenaran, maka orang yang jujur sangat bersemangat dalam menjalankan agamanya.

Sebaliknya kebohongan akan berakibat buruk.

Berdampak buruk terhadap kehidupan bermasyarakat, karena orang-orang tidak akan menyukainya sebagai seorang pembohong.

Kebohongan juga akan berdampak buruk dalam kehidupan beragama, karena akan membuatnya antipati terhadap kebenaran.

Karena itu sangat mungkin dari kebohongannya itu akan melahirkan sikap memerangi agama Allah dengan cara menyesatkan orang lain.

Menurut ayat di atas, ada dua cara seorang pendusta dalam menyesatkan manusia:

📌a. Mencampur-adukkan hak dengan batil, sehingga seolah-olah kebenaran dan kebatilan itu relatif alias abu-abu. Inilah yang dimaksud dengan tidak boleh mencampur-adukkan haq dengan batil.

📌b. Menolak kebenaran dan menyembunyikannya, sehingga tidak Nampak.
Ini yang dimaksud dengan larangan untuk menyembunyikan haq.

2⃣. Hadis Kejujuran:

Nabi Saw. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فإن الصِّدْقَ يهدى إلى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يهدى إلى الْجَنَّةِ، وما يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حتى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

Artinya: “Berbuat jujurlah kalian! Karena kejujuran menunjukkan pada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke surga.

Dan tidaklah seseorang terus berbuat jujur dan dengan sadar mengupayakan kejujuran, hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur” (Muslim, 4/2607).

Hadits tadi menyebutkan tata-cara seorang Muslim membina dirinya menjadi orang yang jujur.

Bahwa ada beberapa tips menjadi seorang yang jujur:

📌a. Penghayatan iman tentang surga dan neraka. Bahwa kebaikan berbalas surga, dan keburukan berbalas neraka.

📌b. Pengetahuan bahwa kejujuran menjadi gerbang kebaikan, dan kebohongan menjadi gerbang keburukan. Kejujuran menjadi sifat dasar seorang Muslim.

📌c. Terus mengupayakan kejujuran. Karena memiliki sifat jujur membutuhkan proses, yaitu upaya terus-menerus untuk jujur, meskipun banyak godaan untuk berbohong.

📌d. Berhati-hati agar tidak berbohong. Misalnya, ketika dalam pembicaraan telepon seseorang ditanya sedang dimana? Dia menjawab sedang di luar kota. Dalam hatinya dia bermaksud bahwa ia berada di kota yang berbeda dari penelepon.

Dia sadar bahwa penelpon akan menangkap bahwa dia benar-benar sedang pergi ke luar kota.

Gaya pembicaraan seperti ini jika terus dilakukan bisa membuatnya terbiasa berbohong.

3⃣. Kriteria Kejujuran:

Dalam bahasa Arab, jujur (sidq) adalah lawan dari berbohong  (kadzib).

Kejujuran aselinya disebutkan dalam konteks pembicaraan.

Karena itu jujur didefinisikan sebagai kesesuaian antara perkataan dengan hati dan objek yang dikabarkan (Al-Munawi, At-Ta’arif, 451).

Sehingga jika suatu pembicaraan tidak sesuai dengan objek yang dikabarkan, ia merupakan kebohongan.

Tetapi jika pembicaraan sesuai dengan objek berita, tetapi tidak sesuai dengan hati, maka dari segi kesuaiannya dengan objek berita disebut benar. Tetapi dari sisi perbedaannya dengan hati disebut kebohongan.

Seperti orang munafik yang menyebut bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Perkataan itu benar, tetapi karena tidak sesuai dengan keyakinan dalam hatinya, mereka disebut telah berbohong.

Firman Allah:

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya. Tetapi Allah mengetahui sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta” (Al-Munafiqun [63]: 1).

Wallahu a'lam.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

Tafsir Al-Kafirun

QURAN DAN TAFSIR

📝 Pemateri: Ust. AHMAD SAHAL HASAN, Lc.

📋 SURAT AL-KAFIRUN (Bag-1)

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

📌Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

📚SABAB NUZUL

Surat Al-Kafirun termasuk surat MAKIYAH, diturunkan terkait negosiasi yang dilakukan beberapa tokoh Quraisy kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau mau melakukan kompromi dan pencampuran aqidah dan ibadah. Mereka yang menawarkan kompromi ini, semuanya meninggal dalam kekafiran.

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dengan sanadnya meriwayatkan peristiwa ini:

لَقِيَ الْوَلِيْدُ بْنُ الْمُغِيْرَة وَ الْعَاصُ بْنُ وَائِلٍ وَ الأَسْوَدُ بْنُ الْمُطَّلِبِ وَ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ رَسُوْلَ اللهِ فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، هَلُمَّ فَلْنَعْبُدْ مَا تَعْبُدُ، وَتَعْبُدْ مَا نَعْبُدُ، ونُشْرِككَ فِي أَمْرِنَا كُلِّهِ، فَإِنْ كَانَ الَّذِي جِئْتَ بِهِ خَيْرًا مِمَّا بِأَيْدِيْنَا، كُنَّا قَدْ شَرِكْنَاكَ فِيْهِ، وَأَخَذْنَا بِحَظِّنَا مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ الَّذِي بِأَيْدِيْنَا خَيْرًا مِمَّا فِي يَدَيْكَ، كُنْتَ قَدْ شَرِكْتَنَا فِي أَمْرِنَا، وَأَخَذْتَ مِنْهُ بِحَظِّكَ. فَأَنْزَلَ اللهُ: {قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ} حَتَّى انْقَضَتِ السُّوْرَةُ. (تفسير الطبري، 24/662)

📌Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-‘Ash bin Wa-il, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umayah bin Khalaf telah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata: Wahai Muhammad, marilah (bersepakat), kami menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau menyembah apa yang kami sembah dan kami akan melibatkanmu dalam semua urusan kami. Jika yang engkau bawa lebih baik daripada yang ada pada kami, berarti kami telah membersamaimu dan mengambil bagian kami darinya. Dan bila yang ada pada kami lebih baik dari yang ada padamu, berarti engkau telah membersamai kami dan mengambil bagianmu darinya. Maka Allah menurunkan “Qul Ya Ayyuha-l Kafirun” hingga akhir surat. (Tafsir Ath-Thabari, 24/662).

Cukup banyak riwayat seperti ini tentang sabab nuzul surat Al-Kafirun. Meskipun satu persatu dari riwayat-riwayat itu tidak sampai pada derajat shahih, namun secara keseluruhan saling menguatkan satu sama lain, sehingga disimpulkan bahwa substansi atau makna riwayat tersebut adalah shahih.

📚KEUTAMAAN SURAT AL-KAFIRUN

🔷PELEPAS DIRI DARI KEMUSYRIKAN

عَنْ فَرْوَةَ بْنِ نَوْفَلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ لِنَوْفَلٍ: «اقْرَأْ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ثُمَّ نَمْ عَلَى خَاتِمَتِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ» (رواه أبو داود – صحيح)

📌Dari Farwah bin Naufal dari ayahnya (Naufal) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Naufal: Bacalah Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun kemudian tidurlah setelah selesai membacanya, karena sesungguhnya ia adalah pembebasan dari kemusyrikan. (HR. Abu Dawud – Shahih).

🔷SURAT AL-KAFIRUN SETARA SEPEREMPAT AL-QURAN

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضي الله عنهما – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «{قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ، وَ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} تَعْدِلُ رُبُعَ الْقُرْآنِ» (رواه الترمذي وابن ماجه – حسن)

📌Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Qul Huwa-Llaahu Ahad setara sepertiga Al-Quran, dan Qul Yaa Ayyuhal-Kaafirun setara seperempat Al-Quran. (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah – Hadits hasan).

Maksudnya setara pahalanya dengan membaca seperempat Al-Quran, seperti penjelasan tentang surat Al-Ikhlas di materi sebelum ini.

Syihabuddin Al-Alusi rahimahullah mencoba menemukan alasan mengapa surat Al-Kafirun setara dengan seperempat Al-Quran. Diantara penjelasannya:
Maksud kandungan Al-Quran ada empat, yaitu: penegasan kekhususan ibadah hanya untuk Allah, penegasan berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, penjelasan hukum-hukum syariat, dan penjelasan tentang keadaan akhirat. Surat Al-Kafirun berisi salah satunya yakni berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, sehingga ia setara dengan seperempat Al-Quran.
Atau karena Al-Quran berisi empat hal: ibadat, muamalat, jinayat (hukuman atas kejahatan), dan munakahat (hukum pernikahan), dan surat Al-Kafirun berbicara tentang yang pertama. (Ruh Al-Ma’ani, 15/485).

🔹(Bersambung)🔹

Tuesday 14 April 2015

KEADAAN HATI MANUSIA (1)


HATI YANG SEHAT

Hati yang sehat yaitu hati yang bersih yang seorang pun tak akan bisa selamat pada Hari Kiamat kecuali jika dia datang kepada Allah dengannya, sebagaimana firman Allah,

"(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'ara': 88-89).

Disebut qalbun salim (hati yang bersih, sehat) karena sifat bersih dan sehat telah menyatu dengan hatinya, sebagaimana kata Al-Alim, Al-Qadir (Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa). Di samping, ia juga merupakan lawan dari sakit dan aib.

Orang-orang berbeda pendapat tentang makna qalbun salim. Sedang yang merangkum berbagai pendapat itu ialah yang mengatakan qalbun salim yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan berita-Nya. Ia selamat dari melakukan penghambaan kepada selain-Nya, selamat dari pemutusan hukum oleh selain Rasul-Nya, bersih dalam mencintai Allah dan dalam ber-hukum kepada Rasul-Nya, bersih dalam ketakutan dan berpengharap-an pada-Nya, dalam bertawakal kepada-Nya, dalam kembali kepada-Nya, dalam menghinakan diri di hadapan-Nya, dalam mengutamakan mencari ridha-Nya di segala keadaan dan dalam menjauhi dari kemungkaran karena apa pun. Dan inilah hakikat penghambaan (ubudiyah) yang tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata.

Jadi, qalbun salim adalah hati yang selamat dari menjadikan sekutu untuk Allah dengan alasan apa pun. la hanya mengikhlaskan penghambaan dan ibadah kepada Allah semata, baik dalam kehendak, cinta, tawakal, inabah (kembali), merendahkan diri, khasyyah (takut), raja'(pengharapan), dan ia mengikhlaskan amalnya untuk Allah semata. Jika ia men-cintai maka ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci maka ia membenci karena Allah. Jika ia memberi maka ia memberi karena Allah. Jika ia menolak maka ia menolak karena Allah. Dan ini tidak cukup kecuali ia harus selamat dari ketundukan serta berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia harus mengikat hatinya kuat-kuat dengan beliau untuk mengikuti dan tunduk dengannya semata, tidak kepada ucapan atau perbuatan siapa pun juga; baik itu ucapan hati, yang berupa kepercayaan; ucapan lisan, yaitu berita tentang apa yang ada di dalam hati; perbuatan hati, yaitu keinginan, cinta dan kebencian serta hal lain yang berkaitan dengannya; perbuatan anggota badan, sehingga dialah yang menjadi hakim bagi dirinya dalam segala hal, dalam masalah besar maupun yang sepele. Dia adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sehingga tidak mendahuluinya, baik dalam kepercayaan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya."
(Al-Hujurat: 1).

Artinya, janganlah engkau berkata sebelum ia mengatakannya, janganlah berbuat sebelum dia memerintahkannya. Sebagian orang salaf berkata, "Tidaklah suatu perbuatan -betapa pun kecilnya- kecuali akan dihadapkan pada dua pertanyaan: Kenapa dan bagaimana?" Maksudnya, mengapa engkau melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Soal pertama menanyakan tentang sebab perbuatan, motivasi atau yang mendorongnya; apakah ia bertujuan jangka pendek untuk kepentingan pelakunya, bertujuan duniawi semata untuk mendapatkan pujian orang atau takut celaan mereka, agar dicintai atau tidak dibenci ataukah motivasi perbuatan tersebut untuk melakukan hak ubudiyah (penghambaan), mencari kecintaan dan kedekatan kepada Tuhan Subhanahu wa Ta'ala dan mendapatkan wasilah (kedekatan) dengan-Nya.

Inti pertanyaan yang pertama adalah apakah kamu melaksanakan perbuatan itu untuk Tuhanmu atau engkau melaksanakannya untuk kepentingan dan hawa nafsumu sendiri? Sedang pertanyaan yang kedua merupakan pertanyaan tentang mutaba'ah (mengikuti) Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam soal ibadah tersebut. Dengan kata lain, apakah perbuatan itu termasuk yang disyariatkan kepadamu melalui lisan Rasul-Ku atau ia merupakan amalan yang tidak Aku syariatkan dan tidak Aku ridhai? Yang pertama merupakan pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua pertanyaan tentang mutaba'ah kepada Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan pun kecuali dengan syarat keduanya.

Jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan dan jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan kedua yaitu dengan merealisasikan mutaba'ah, selamatnya hati dari keinginan yang menentang ikhlas dan hawa nafsu yang menentang mutaba'ah. Inilah hakikat keselamatan hati yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan.

Wednesday 1 April 2015

IKHWANUL MUSLIMIN DIBAWAH NAUNGAN AL-QUR'AN


Kepada para pemuda
Yang merinduk lahirnya kejayaan …
Kepada umat yang tengah
Kebingungan di persimpangna jalan…
Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya,
Yang telah menggoreskan catatan membanggakan
Di lembar sejarah umat manusia…
Kepada setiap muslim
Yang yakin akan masa depan dirinya
Sebagai pemimpin dunia dan peraih kebahagiaan
Di kampung akhirat…
Kepada mereka semua kami persembahkan risalah ini.

RISALAH IMAM SYAHID HASAN AL-BANNA

Adalah sebuah risalah masa lalu yang penuh kobaran semangat jihad, 
untuk generasi hari ini yang tengah bergejolak dan dilanda kegelisahan…
Sebuah bekal hari ini yang sarat tuntutan,
Untuk masa depan yang penuh cahaya…
Wahai para pemuda,
Wahai mereka yang memiliki cita-cita luhur
Untuk membangun kehidupan…
Wahai kalian yang rindu akan kemenangan agama Allah…
Wahai semua yang turun ke medan,
Demi mempersembahkan nyawa di hadapan Tuhannya…
Disinilah petunjuk itu, di sinilah bimbingan...
Di sinilah hikmah itu, disinilah kebenaran…
Di sini kalian dapati keharuman pengorbanan
Dan kenikmatan jihad…
Bersegeralah bergabung dengan parede bisu…
Untuk bekerja di bawah panji penghulu para nabi…
Untuk menyatu dengan pasukan Ikhwanul Muslimin…
"Sehingga tidak ada lagi fitnah di muka bumi dan agama
seluruhnya milik Allah."

Sunday 29 March 2015

KEPADA MAHASISWA (4)


HAK-HAK INTERNASIONAL

Sebelum saya akhiri rangkaian penjelasan ini, saya ingin menegaskan kepada kalian sebuah penegasan final, bahwa politik Islam, baik internal maupun eksternal sangat menghargai hak-hak non muslim, baik hak-hak internasional, maupun hak-hak kenegaraan bagi minoritas non muslim. ini semua karena wibawa Islam di mata internasional adalah kharisma yang paling prestisius sepanjang sejarah. Allah swt. befirman,

"Dan jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." (Al-Anfal: 58)

"Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa." (At-Taubah: 4)

"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," (Al-Anfal: 61)

Jika Italia maju seperti itu memerangi Ethiopia sampai bisa menguasainya dan tidak pernah sama sekali mengumumkan perang kepadanya atau memberi aba-aba sebelumnya, kemudiaan jejaknya diikuti oleh Jepang, ia perangi Cina dan tidak pernah memberi tahu dan mengumumkan sebelumnya, maka sejarah tidak pernah mencatat suatu kejadian pun dari Rasulullah saw. atau dari para sahabat bahwa mereka pernah memerangi suatu kaum atau menyerang suatu kabilah, tanpa memberi tahu terlebih dahulu, mengumumkan dan mengembalikan perjanjian dengan jujur.

Islam menjamin hak-hak minoritas dengan nash Al-Qur'an. Sebagaimana firman Allah,

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
(Al-Mumtahanah: 8)

Politik Islam juga sama sekali tidak bertentangan dengan sistem undang-undang yang berdasarkan Syura. Bahkan sesungguhnya politik Islamlah yang meletakkan dasardasarnya dan menyuruh manusia untuk melaksanakannya. Sebagaimana hal itu tertera dalam firman Allah,

“….dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (Ali lmran: 159)

Rasulullah saw. tidak segan-segan bermusyawarah dengan para sahabatnya dan mempertimbangkan pendapat salah seorang di antara mereka, sehingga jelaslah mana dari pendapat itu yang benar. Sebagaimana hal itu dilakukan Rasul bersama Habbab bin Al-Mundzir pada Perang Badar. Rasulullah juga bersabda kepada Abu Bakar dan Umar,

"Seandainya kalian berdua sepakat, niscaya aku tidak akan menentang kalian. "

Demikian pula Umar pernah meninggalkan suatu perkara untuk kemudian disyurakan oleh kaum muslimin. Dan kaum muslimin akan senantiasa dalarn kebaikan selama perkara mereka diputuskan dengan syura di kalangan mereka.


KELUASAN TASYRI' ISLAMI

Ta'alim dan politik Islam sama sekali tidak mengandung substansi makna yang usang dan ketinggalan zaman Bahkan ia merupakan tata perundang-undangan (tasyri') yang paling jeli dan utuh. Sistem perundang-undangan telah mengakui dan zaman akan mengungkap kepada manusia tentang kejelasan masalah yang belum mereka ketahui, bahwa tasyri' islami telah mendahului tata perundang-undangan manapun dalarn hal kejelian di bidang hukum, presentasi permasalahan, dan keluasan sudut pandang.

Hal ini banyak dibuktikan oleh pakar-pakar hukum non muslim, sebagaimana hal itu banyak disebut dalam buku-buku dan tulisan-tulisan mereka. juga diperkuat oleh muktamar-muktamar perundang-undangan internasional, yang membuktikan bahwa Islam telah meletakkan kaidah-kaidah global yang menjadikaan seorang muslim tidak akan meninggalkan medan yang luas untuk memanfaatkan setiap tasyri' yang berguna dan tidak bertentangan dengan asas-asas dan maqashid Islam. Islam memberi pahala dalam berijtihad dengan menepati syarat-syaratnya, menetapkan kaidah mashlahah mursalah,
Mengategorikan 'urf (adat istiadat) sebagai salah satu penentu keputusan hukum dan sangat menghargai pendapat imam.

Kaidah-kaidah ini semuanya menjadikan tasyri' islami pada posisi puncak di antara perundang-undangan dan hukum-hukum yang ada. Kandungan makna-makna seperti ini wahai ikhwan ingin disebarluaskan di antara kita. dan kemudian kita mendeklarasikannya kepada manusia-manusia yang lain. Karena masih banyak orang yang memahami Nizham Islam (sistem Islam) dengan makna yang sama sekali tidak sesuai dengan hakekat yang sebenarnya. Karena itulah banyak dari mereka yang lari dari Islam dan memerangi dakwahnya. Seandainya mereka memahami sesuai aslinya, niscaya akan kembali kepada Islam, bahkan akan menjadi orang-orang pertama dalam membelanya ' sangat bersemangat, dan paling lantang bersuara dalam mendakwahkannya.

Thursday 26 March 2015

KEPADA MAHASISWA (3)


POLITIK EKSTERNAL

Jika yang dikehendaki dari politik adalah makna eksternalnya, yakni menjaga kebebasan dan kemerdekaan umat, menanamkan rasa percaya diri, kewibawaan, dan meniti jalan menuju sasaran-sasaran yang mulia, di mana dengan cara itu umat akan memiliki harga diri dan kedudukan yang tinggi di kalangan bangsa-bangsa lain, membebaskannya dari imperialisme dan campur tangan bangsa lain dalam urusannya, dengan menetapkan pola interaksi bilateral maupun multilateral yang menjamin hak-haknya, serta mengarahkan semua negara menuju perdamaian internasional yang
peraturan ini biasa mereka sebut Hukum Internasional. Jika itu semua yang dikehendaki, maka Islam telah menaruh perhatian serius akan masalah itu dan memberikan fatwa dengan jelas dan gamblang tentangnya. Di mana kaum muslimin diwajibkan untuk menerapkan hukum-hukum tersebut secara sama antara ketika perang dan dalam keadaan damai. Barangsiapa mengabaikan dan menelantarkannya, berarti ia bodoh tentang ajaran Islam, atau bahkan telah murtad.

Islam telah menerapkan kepemimpinan umat Islam dan supremasinya bagi umat lain pada banyak ayat dalam Al-Qur'an, di antaranya:

Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (Ali lmran:110)

"Dan demikian Kami telah menjadikan kamu umat pertengahan (adil dan pilihan) dan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia." (Al-Baqarah: 143)

"Dan izzah itu adalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami." (Al-munafiqun: 8)

Al-Qur'an juga menegaskan integritas kepemimpinan umat ini dan membimbingnya menuju penjagaan eksistensi serta mengingatkan akan bahaya campur tangan dari yang lain terhadap berbagai urusan internalnya, sebagaimana firman Allah:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi Sungguh telah Kami terangkan padamu ayat-ayat Kami, jika kamu memahaminya. Beginilah kamu menyukai mereka
padahal mereka tidak menyukai kamu (Ali lmran : 118-119)

Di samping itu Al-Our'an mengingatkan akan bahaya kolonialisme dan berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya bagi (keutuhan) bangsa. Berkenaan dengan hal itu, Allah berfirman:

"Sesungguhnya raja-raja (penjajah), jika memasuki suatu negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya- yang mulia jadi hina, dan demikianlah yang akan mereka perbuat." (An-Naml 34)

Kemudian Islam mewajibkan umatnya untuk menjaga eksistensi superioritas kepemimpinan ini dan memerintah untuk menyiapkan berbagai bekal dan kesempurnaan kekuatan, Sehingga al-haq akan tetap terpelihara dengan kemuliaan superioritas kepemimpinan tadi, sebagaimana itu pernah terjadi pada masa merekahnya cahaya hidayah.

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi..'' (Al-Anfal: 60)

Islam juga tidak lupa menyuruh umatnya agar bersikap hati-hati tatkala dalam kondisi menang, berhati-hati dari sifat tidak adil dan perampasan hak. Islam sangat menekankan kepada kaum muslimin agar menjauhi sifat permusuhan bagaimana pun bentuknya, sebagaimana dalam firman Allah:

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, Berlaku adillah karena berlaku adil itu lebih dekat kepada taqwa (Al-Maidah: 8)

"(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (Al-Hahh : 41)

Dari sinilah wahai ikhwan, kita lihat para penghuni masjid, para pencinta ibadah, para penghafat Al-Our'an AI-Karim, bahkan putra-putra desa dari kampung dari kalangan salaf tidak puas dengan kemerdekaan negara mereka, kemuliaan kaum mereka, dan terbebasnya bangsa mereka saja. Akan tetapi mereka berkelana ke pelosok bumi, melanglang buana sampai ke seluruh penjuru negeri untuk membebaskan dan mendidik (negeri-negeri itu). Mereka memerdekakan umat sebagaimana mereka telah merdeka Mereka beri petunjuk dengan haya Allah sebagaimana mereka telah mendapatkannya

Mereka bimbing umat kepada kebahagiaan dunia dan akhirat Mereka tidak menipu, tidak durhaka, dan tidak melampaui batas. Mereka tidak memperbudak manusia, karena manusia-manusia itu dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka. Dari sini pulalah kita. melihat Uqbah bin Nafi' melintasi lautan Atlantik, seraya berkata,

"Ya Allah, seandainya aku tahu bahwa di balik samudera ini terdapat bumi yang lain, tentu akan aku lanjutkan pengembaraan ke penjuru negeri untuk berjihad di jalan-Mu."

Pada saat yang sama, putra Abbas, salah satu di antara mereka wafat dan dikubur di Thaif dekat Mekkah, yang kedua di Bumi Turki di wilayah paling Timur, dan yang ketiga di Afrika, wilayah paling Barat. Hal itu dalam rangka jihad fi sabilillah untuk meraih ridha-Nya. Demikianlah para sahabat dan tabi'in memahami dengan benar bahwa politik eksternal adalah bagian dari lubuk kedalaman ajaran Islam.

Wednesday 25 March 2015

KEPADA MAHASISWA (2)


POLITIK INTERNAL

Wahai Ikhwan!

Biarkan saya untuk berpanjang lebar bersama kalian dalam menegaskan makna ini, Saya katakan, kalau yang dikehendaki dari politik adalah makna internalnya seperti mengatur roda Pemerintahan, menjelaskan tugas-tugasnya, merinci hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, mengontrol dan membantu para petinggi agar mereka ditaati jika berbuat baik dan diluruskan, Jika menyimpang sungguh Islam telah memperhatikan sisi ini, telah meletakkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipnya, merinci hak-hak pemerintahan dan hak-hak yang diperintah (rakyat) menjelaskan sikap-sikap yang
zhalim dan yang dizhalimi, serta Menggariskan batas-batas (hukuman) yang tidak boleh dilanggar dan dilampaui.

Model-model perundang-undangan perdata dan pidana dengan berbagai cabangnva, telah diungkap oleh Islam. Islam -pada semua posisi- telah meletakkan diri pada suatu posisi yang menjadikannya sebagai sumber yang pertama dan rujukan yang paling suci. Tatkala melakukan hal itu, Islam telah menggariskan ushul yang integral, kaidah-kaidah yang umum dan maqashid, yang melingkupi semuanya. Islam mewajibkan manusia untuk merealisasikannya dan membiarkan mereka untuk
melaksanakan rincian sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, serta berijtihad dengan apa yang lebih memungkinkan untuk mendatangkan maslahat bagi mereka.

Islam telah menggariskan dan menegaskan adanya kepemimpinan umat serta mewasiatkan agar setiap muslim mampu menjadi manajer dengan kesempurnaan manajerialnya dalam memantau jalannya roda pemerintahan, memberikan nasehat, kontribusi, dan selalu kritis terhadap setiap hasil perhitungan. Islam telah mewajibkan kepada petinggi pemerintahan agar berbuat bagi kemaslahatan rakyat dalam rangka memapankan yang haq dan membasmi yang batil, maka ia juga mewajibkan kepada rakyat agar mendengar dan taat kepada pemimpin. Jika pemimpin itu dijumpai melakukan penyimpangan, maka wajib bagi mereka untuk meluruskannya sesuai dengan kebenaran yang ada, memberlakukan hukum yang berlaku, dan mengembalikannya kepada kerangka keadian. Ajaran ini sernua bersandar pada kitab Allah dan hadits-hadis Rasulullah saw., kami sama sekali tidak mengada-ada. Berikut adalah firman Allah yang menjelaskan hal itu:

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab Yang lain itu. Maka putuskan perkara mereka menurut apa Yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengar meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan Yang terang Seandainya Allah
menghendaki niscaya kamu dijadikan satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap Pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya pada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya padamu apa Yang telah kamu perselisihkan itu.
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari Sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya, Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah Yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah Yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang Yang yakin?" (Al-Maidah: 48-50)

Ada puluhan ayat lain yang membahas apa yang kita sebutkan di atas secara gamblang dan rinci.
Perihal penegasan adanya pemimpin umat dan penegasan dengan adanya opini umum yang ada di dalamnya, Rasulullah saw. bersabda,

"Agama itu nasehat." Mereka berkata, "Bagi siapakah wahai Rasulullah!", Rasulullah menjawab, "Bagi Allah dan Rasul-Nya, Kitab-Nya, bagi para pemimpin kaum muslimin, dan kalangan umum
mereka."

Rasulullah saw. juga bersabda,

 "Sesungguhnya jihad Yang paling utama adalah kata-kata yang benar di depan penguasa durjana "
Penghulu para Syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang Yangberdiri di hadapan pemimpin Yang zhalim kemudian menyuruh (melakukan) kebaikan dan mencegahnya (dari perbuaatan Yang keji) lalu sang pemimpin tadi membunuhnya."

Ada ratusan hadits lain Yang menjelaskan dengan rinci tentang pernyataan di atas, menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, mengontrol kerja para petinggi pemerintahan, dan memantau sejauh mana kadar penghargaan mereka terhadap kebenaran dan upaya mereka dalam merealisasikan hukum-hukum Allah.

Nah, apakah Rasulullah saw. ketika memerintah untuk melakukan campur tangan (terhadap urusan pemerintahan), atau pemantauan, atau kontribusi, atau apalah namanya, beliau menjelaskan bahwa amal tersebut bagian dari agama. Ia adalah jihad akbar yang balasannya adalah syahadah udzmah (syahadah vang paling agung). Apakah ketika melakukan itu Keduanya akan bertentangan dengan ajaran Islam, mencampuradukkan politik dengan agama, atau hal itu merupakan karakteristik Islam
yang karenanya Allah swt mengutus Nabi-Nya Muhammad saw.?

Pada saat kita memisahkan hal tersebut dari Islam, itu berarti kita telah memberikan persepsi pada diri kita tentang sebuah Islam yang khusus, tidak sebagaimana yang dibawa Rasulullah saw.
Sungguh substansi integral dari makna Islam yang shahih ini telah bertengger dalam jiwa Para salalfus shalih dari umat ini, telah bersemayam dengan spiritualitas dan intelektualitas mereka, serta terlihat dengan jelas dalam beberapa abad kehidupan, sebelum akhirnya muncul sebuah islam yang terjajah, yang rendah dan hina.

Dari sinilah wahai ikhwan, para sahabat Rasulullah saw. membahas permasalahan sistem pemerintahan, berjihad dalam membela kebenaran, bersedia memanggul beratnya beban dalam kepemimpinan umat, dan memperlihatkan sebuah karakter yang lekat dengan kepribadian mereka, yakni ahli ibadah di malam hari dan tentara berkuda di siang hari. Sampai-sampai Ummul Mukmimm Aisyah berkhutbah di depan khalayak tentang Pernik-Pernik Politik dan mempresentasikannya kepada mereka liku-liku Pemerintahan dengan penjelasan yang memukau disertai argumen yang kuat.

Dari sini pula, maka pasukan tentara yang berani menjebol benteng ketaatan kepada Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, berani memerangi dan melakukan oposisi kepadanya yang di pimpin oleh ibnul Ash'ats dinamakan "Katibatul Fuqaha", karena di dalamnya terdapat Sa'id bin Jubair, Amir Asy-Sya'bi, serta para fuqaha dan ulama dari kalangan tabi'in.

Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana sikap para ulama -semoga Allah ridha kepada mereka- dalam memberi nasehat dan kontribusi kepada raja, menghadapi para pemimpin pemerintahan dengan al-haq, yang kisah sebagian mereka tidakkan cukup diungkap di sini, apalagi semuanya.
Masih dari dalam kerangka ini, buku-buku fiqih dulu maupun, sekarang penuh dengan bahasan tentang hukum imarah (kepemimpinan), Syahadah (kesaksian), da'awaa (hukum tuduhan), jual-beli, muamalah, hudud, dan ta'zir (pengasingan). Ini semuanya karena Islam merupakan serangkaian hukum yang bersifat amaliyah (operasional) dan ruhiyah (spiritual). Jika kekuasaan perundang-undangan (baca: Lembaga Legislatif) menggariskan hukum-hukum itu, maka ia siap untuk dijaga (eksistensi hukum tadi) dan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan yudikatif. Tidak ada gunanya perkataan seorang khatib di atas mimbar setiap Jum'at, "Sesungguhnya khamer, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan." (Al-Maidah: 90)
Padahal pada saat yang sama undang-undang negara membolehkan mabuk-mabukan dan para aparat pun tidak segan-segan melindungi para pemabuk, bahkan mengantarkan mereka (ketika mabuk) sampai ke rumah dengan aman.

Oleh karena itulah ajaran Al-Qur'an tidak pernah lepas dari kendali kekuasaan, politik pemerintahan merupakan bagian dari agama, dan di antara kewajiban seorang muslim adalah harus mempunyai kepekaan dalam memberi jalan keluar kepada pemerintah dalam permasalahan politik sebagaimana memberi jalan keluar dalam permasalahan ruhiyah. Inilah sikap Islam terhadap politik internal.

Tuesday 24 March 2015

KEPADA MAHASISWA (1)

Bismillahirahmanirahim


Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, dan para sahabat beliau.

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang
(Al-Qur'an)." (An-Nisa': 174)


MENUJU AMAL

Wahai Ikhwan!

Setiap kali saya berada di tengah banyak orang yang senantiasa mendengarkanku, maka saya memohon kepada Allah dengan sangat agar Dia berkenan mendekatkanku kepada suatu masa, di mana ketika itu kita telah meninggalkan medan kata-kata menuju medan amal, dari medan penentuan strategi dan manhaj menuju medan penerapan dan realisasi Telah sekian lama kita menghabiskan waktu dengan hanya sebagai tukang pidato dan ahli bicara, sementara zaman telah menuntut kita untuk segera mempersembahkan bahkan amal-amal nyata yang profesional dan produktif. Dunia kini
tengah berlomba untuk membangun unsur-unsur kekuatan dan mematangkan persiapan, sementara kita masih berada di dunia kata-kata dari mimpi-mimpi,

"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
(As, Shaff" 2-3)

Wahai Ikhwan!

Ikhwan telah menegaskan kepada kalian tentang universalitas, daya jangkau, dan daya sentuh ajaran Islam atas seluruh aspek kehidupan umat, baik yang sedang bangkit, telah mapan, yang baru tumbuh, maupun yang sudah maju. Sebagian mereka memperbincangkan tentang "sikap Islam terhadap nasionalisme". Islam mengingatkan pada kalian bahwa nasionalisme Islam adalah nasionalisme yang paling luas batasnya, yang paling integral eksistensinya, dan paling abadi. Sesungguhnya orang yang paling ekstrim fanatismenya pada tanah air tidak mendapatkan semuanya pada agen-agen nasionalisme fanatik sebagaimana yang didapatkan pada semangat nasionalisme kaum muslimin. Saya tidak perlu memperpanjang penjelasan mengenai hal itu setelah mereka mengungkapnya, akan tetapi saya. hanya akan mengungkap satu hal, yang banyak orang salah paham tentangnya dan besar pula eksesnya. Satu hal itu adalah "Politik dan Islam."


AGAMA DAN POLITIK

Sedikit sekali anda akan menjumpai orang yang berbicara kepada anda tentang politik dan Islam, kecuali anda akan melihat orang tadi memisahkan dengan pemisahan yang sejauh-jauhnya antara politik dan Islam. Ia letakkan setiap makna dari keduanya disisi yang berbeda. Keduanya menurut sebagian besar orang tidak mungkin dapat bertemu dan berintegrasi. Dari pemahaman inilah kemudian sebuah jam'iyah yang berorientasi ke sana dinamakan jam'iyah Islamiyah, bukan Siyasiyah. Di situ yang ada hanya integrasi spiritual keagamaan yang fidak ada unsur politik di dalamnya.

Anda bisa melihat pada pengguliran undang-undang dan sistem yang ada di organisasi-organisasi islam bahwa jam'iyah (organisasi) tidak membahas masalah-masalah politik.

Sebelum saya mengupas teori ini, baik dengan membenarkan atau menyalahkan, saya ingin menekankan dua hal penting:

Pertama: sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan mungkin juga berseteru. Mungkin, seseorang disebut politisi dengan segala makna politik yang terkandung di dalamnya, namun ia tidak berinteraksi dengan partai atau bahkan tidak ada kecenderungan ke sana. Mungkin pula ada orang yang berpolitik praktis (terjun dalam kepartaian) namun ia sama sekali tidak mengerti masalah politik. Atau mungkin ada pula orang yang
menggabungkan antara keduanya sehingga ia adalah politisi yang berpolitik praktis atau berpolitik praktis yang politisi pada proporsi yang sama. Ketika saya berbicara tentang politik praktis pada kesempatan ini, maka yang saya kehendaki adalah politik secara umum. Yakni melihat persoalan-persoalan umat baik internal maupun eksternal yang sama sekali tidak terikat dengan hizbiyah
(kepartaian). Ini yang pertama.

Kedua: sesungguhnya orang-orang non muslim, tatkala mereka bodoh tentang Islam ini, atau tatkala mereka dibuat pusing oleh urusan dan kokohnya Islam yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya, atau kesiapan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka tidak berusaha untuk Melukai jiwa-jiwa kaum muslimin dengan menodai nama Islam, syariat, dan undang-undangnya. Namun mereka berusaha membatasi substansi makna islam pada lingkup sempit Yang menghilangkan semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamnya, Kendati setelah itu yang tersisa bagi kaum muslimin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang sama sekali tidak berguna.

Maka mereka berusaha memberikan pemahaman kepada kaum muslimin bahwa Islam adalah sesuatu sementara masalah sosial adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan perundang-undangan adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu suatu dan masalah-masalah ekonomi adalah sesuatu yang lain yang tidak ada hubungannya sama sekali. Islam adalah sesuatu, dan peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada jarak yang jauh dari politik.

Berbicaralah kepadaku atas nama Tuhanmu wahai ikhwan! jika Islam adalah sesuatu yang bukan politik bukan sosial, bukan ekonomi, dan bukan peradaban, lantas apa Islam itu? Apakah ia hanya rakaat-rakaat kosong tanpa kehadiran hati? Apakah ia hanya lafadz-lafadz sebagaimana yang dikatakan Rabi'ah Al-Adawiyah, "Istighfar yang butuh kepada istighfar? " Hanya untuk hal semacam inikah Al-Qur'an itu diturunkan sebagai aturan yang sempurna, jelas, dan rinci? "

Sebagai penjelas bagi segala sesuatu, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman," (An-Nahl: 16)

Substansi makna yang merendahkan fikrah Islamiyah dan ruang sempit yang dibatasi oleh makna islam semacam inilah yang diupayakan oleh musuh-musuh Islam untuk mempersempit ruang gerak kaum muslimin di dalamnya dan melecehkan mereka seraya (musuh-musuh itu) mengatakan, "Kami berikan kepada kalian kebebasan beragama. " Padahal Undang-Undang Dasar negara telah menggariskan bahwa agama resmi negara adalah Islam.


ISLAM YANG UTUH

Wahai Ikhwan!

Saya umumkan dari atas mimbar ini dengan penuh keterusterangan, ketegasan, dan kekuatan kata, bahwa Islam itu bukan sebagaimana makna yang dikehendaki para musuh agar umat Islam terkurung dan terikat di dalamnya, islam adalah aqidah dan ibadah, negara dan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan moral dan material, peradaban dan perundang-undangan. sesungguhnya seorang muslim dengan hukum Islamnya dituntut untuk Memperhatikan semua persoalan umat Barangsiapa yang tidak memperhatikan persoalan kaum muslimin, dia bukan termasuk golongan mereka.

Saya yakin para salafus shalih semoga Allah melimpahkan ridha kepada mereka, tidak memahami Islam selain dengan makna ini. Dengannya mereka berhukum, demi kejayaannya mereka berjihad, di atas kaidah-kaidahnya mereka bergaul dan berinteraksi, serta pada batas-batasnya mereka mengatur setiap urusan dari urusan-urusan kehidupan dunia yang operasional, sebelum nantinya urusan-urusan akhirat yang spiritual. Semoga Allah berkenan memberi rahmat kepada Sang Khalifah Perdana tatkala beliau berkata, "Seandainya tali untaku hilang, tentu aku akan mendapatkannya dalam Kitabullah."

Setelah batasan global dari makna Islam yang syamil dan subtansi makna politik yang tidak terkait dengan kepartaian ini, saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang muslim tidak akan sempurna Islamnya. kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang besar terhadap umatnya. Saya juga bisa katakan bahwa pembatasan dan pembuangan makna ini (pembuangan makna politik dari substansi islam, pent.) sama sekali tidak pernah digariskan oleh Islam. Sesungguhnya setiap jam'iyah islamiyah harus menegaskan pada
garis-garis besar programnya tentang Perhatian dan kepedulian jam'iyah tadi terhadap persoalan-persoalan politik umatnya, Kalau tidak seperti itu, jam'iyah tadi butuh untuk kembali memahami makna islam yang benar.

Wahai Ikhwan!

Biarkan saya. untuk bersama kalian berpanjang lebar dalam menegaskan makna ini, di mana hal itu mungkin sesuatu yang Mengejutkan dan asing di mata mereka-mereka yang terbiasa mendengarkan senandung perpisahan antara Islam dan politik. Mungkin pula setelah penegasan ini, setelah selesainya acara ini, akan ada sebagian orang yang mengatakan, "Sesungguhnya jamaah Ikhwanul Muslimin telah menanggalkan mabda'-mabda'nya telah keluar dari sifat-sifatnya dan menjadi sebuah
jamaah politik, setelah sebelumnya merupakan jamaah keagamaan Kemudian setiap orang yang gemar menduga-duga akan terus melakukan berbagai ta'wil dengan berdasar kepada sebab-sebab perubahan menurut pandangannya itu.

Wahai tuan-tuan, Allah mengetahui bahwa aktifis Ikhwan tidak Pernah melewatkan suatu hari pun untuk tidak menjadi politisi sebagaimana tidak mungkin melalui suatu waktu untuk menjadi ghairul muslimin Dakwah mereka tidak pernah memisahkan antara politik dan agama, dan manusia tidak akan pernah melihat mereka pada suatu saat menjadi pembela hizbiyah.

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya seraya berkata, 'Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amalmu kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." (Al-Qashash:55)

Mustahil Ikhwan meniti jalan yang bukan jalan mereka, atau beramal untuk sebuah fikrah yang bukan fikrah mereka atau mensibghah diri dengan warna yang bukan warna Islam yang hanif.

"Shibghah Allah, dan adakah shibghah yang lebih baik dari pada (shibghah Allah? Dan kami hanya menghambakan diri kepada-Nya." (Al-Baqarah: 138)

Monday 23 March 2015

APAKAH KITA PARA AKTIFIS? (10)


MANHAJ IKHWAN DAN TIMBANGANNYA

Jika anda mengkaji kembali sejarah kebangkitan berbagai bangsa, baik di Barat maupun di Timur, dahulu maupun sekarang, anda akan menjumpai kesamaan bahwa para pelaku kebangkitan dapat menuai sukses karena memiliki manhaj tertentu; yang menjadi pijakan operasional dan tujuan perjuangannya Manhaj ini diletakkan oleh para agen kebangkitan tersebut, lalu diperjuangkan perwujudannya. Mereka bekerja sepanjang kekuatannya masih ada dan selama hayat masih dikandung badan. Jika citacita itu belum dapat diraih sementara masa hidupnya di dunia yang pendek ini telah berakhir, tampillah generasi penerusnya untuk meneruskan bekerja sesuai dengan manhaj yang telah diletakkan. Mereka memulai dari titik di mana generasi pendahulu berhenti; mereka tidak memutus pencapaian yang telah dirauh, tidak menghancurkan komponen-komponen yang telah dibangun, tidak mendongkel pondasi yang telah diletakkan, dan tidak pula memporak-perandakan apa-apa yang telah dirakit. Kalau mereka tidak menambahkan pada tinggalan para pendahulu dengan yang lebih baik, paling tidak mereka bertahan dengan produk yang telah ada dengan menjaganya sekuat tenaga. Kalau mereka tidak mengikuti jejak pendahulu dengan menambah tingkat bangunan lalu melangkah bersama masyarakat menuju ke tujuan yang diinginkan, paling tidak mereka sadar dan mengundurkan diri untuk kemudian menyerahkan tongkat estafet perjuangan kepada yang lain. Begitulah seterusnya, sampai cita- cita dan impian dapat terwujud. Dengan begitu, sempurnalah ke bangkitan, berbuahlah perjuangan panjang, dan sampailah masyarakat ke tujuan yang telah dicanangkan.

Kaji ulanglah berbagai institusi di tengah masyarakat, anda akan melihat apa yang saya katakan ini dengan sejelas-jelasnya bahwa kunci keberhasilan dalam setiap kebangkitan adalah tersedianya manhaj dan orang-orang yang siap bekerja mengikuti petunjuknya (manhaj itu), tanpa bosan dan tanpa surut. Ini sangat jelas terlihat pada khithah yang dilalui oleh dakwah Islam periode awal. Allah telah meletakkan untuknya manhaj yang di atasnya berlalulah dakwah bersama kaum muslimin masa lalu dengan sirriyahnya, kemudian jahriyah, kemudian pengorbanan dijalannya, kemudian hijrah menuju tempat di mana hati-hati yang menerima berada dan jiwa-jiwa yang siap bercokol, kemudian ukhuwah antara jiwa-jiwa ini, kemudian pengokohan ikatan iman di dada, kemudian perjuangan total dan pengasingan diri dari kebatilan menuju kebenaran.

Inilah Abu Bakar ra. Ia menginginkan segera hijrah dari Makkah menuju Madinah, namun Rasulullah saw. menyuruhnya untuk menunggu sampai datang izin dari Allah swt. untuk itu. Tatkala khithah yang pertama dari manhaj dakwah ini telah sempurna, yakni tatkala Rasulullah saw. telah berhasil menerapkan syariatnya, Allah swt. menurunkan firman-Nya.

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu." (Al-Maidah: 3)

Kemudian datanglah setelah Rasulullah saw. para sahabat dan tabi'in yang memindahkan percontohan ideal dan sempurna ini dari jazirah Arab ke berbagai wilayah di dunia, agar kalimah Allah itulah yang tertinggi dan "agar tidak ada lagi fitrah dan (sehingga) agama itu hanya milik Allah." (Al-Baqarah: 193)

Jika anda layangkan ingatanmu pada sejarah firqah-firqah Islam dan peristiwa-peristiwa sebelumnya, lalu tegaknya daulah Abbasiyah di Timur dan kebangkitan negeri-negen modern benua Eropa, seperti: Perancis, Italia, juga Rusia, dan Turki, baik pada periode awalnya (yakni periode penyatuan dan penanaman pondasi negara) maupun pada periode ini (yakni periode pembentukan prinsip-prinsip dasar dan penyebaran pandangannya), niscaya anda akan melihat bahwa semua itu tunduk di
bawah sebuah manhaj yang jelas khithahnya, yang dapat mengantarkan kepada suatu tujuan yang bisa diperhitungkan dan dijadikan orientasi bagi perjalanan umat.

Wahai saudaraku, saya yakin bahwa semua revolusi sepanjang sejarah dan semua sejarah kebangkitan pada suatu masyarakat selalu berjalan sesuai dengan undang-undang ini, meski kebangkitan agama yang dipelopori para nabi dan rasul. Hanya saja, kebangkitan yang terakhir ini manhajnya digariskan oleh Allah swt., Rasul, dan orang-orang setelahnya memberi bimbingan kepada kaumnya untuk menapaki khithah manhaj ini, langkah demi langkah, pada waktunya yang tepat, lalu didukunglah mereka untuk meraih kemenangan dari sisi-Nya. Dengan itu, kebangkitan pasti terjadi.

"Allah telah menetapkan, Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa." (Al-Mujadilah: 21)

Bagaimana mungkin kekeliruan akan datang jika peletak manhaj adalah Dzat Yang Mahatahu, sedangkan pelaksananya adalah orang yang terpelihara dari kekeliruan dan terjaga dari kesalahan, serta dibekali dengan taufik, dan kemenangannya dijamin oleh Allah? Dari itulah maka kenabian ini merupakan rahmat bagi semesta alam.

Tentang kata-kata ini, Para pembaca akan terbagi menjadi dua kelompok.

Pertama, kelompok orang yang mengkaji sejarah umat dan tahapan-tahapan kebangkitannya ia pasti meyakini sepenuhnya.

Kedua, kelompok orang yang tidak memiliki kesempatan untuk ini. Jika mau, pelajarilah agar mereka tahu bahwa saya tidak berkata kecuali benar adanya. Tidaklah saya menginginkan kecuali perbaikan, sebisa yang saya lakukam

Semua pembahasan di atas menceritakan kebangkitan yang wajar (sesuai dengan sunnatullah). Sedangkan kebangkitan kita, apakah ia juga akan terjadi sesuai dengan sunnatullah dalam alam dan kehidupan sosial ini? Itulah yang saya ragu. Saya mencatat bahwa kita memiliki watak tergesa-gesa dan mudah terpengaruh serta emosional. juga watak-watak negatif lain, baik sosial maupun non sosial, yang menjadikan kebangkitan kita akan terjadi secara tiba-tiba dan langsung menguat seiring dengan kuatnya pengaruh waktu, lalu menurun dan akhirnya lenyap seperti tak terjadi apa-apa. Jika saja tujuan perjuangan kita dipahami orang banyak, saya masih yakin akan adanya dua faktor yang menyertai pemahaman tersebut.

Pertama, sarana-sarananya tidak dikenal dan tidak tertentu, bahkan mungkin dipahami secara kontradiktif oleh masing-masing mereka dan kita tidak merasakannya.

Kedua, terputusnya hubungan secara total antara generasi pendahulu dan generasi penerus, Mungkin generasi pendahulu baru sampai di pertengahan jalan, namun generasi berikutnya tidak meneruskannya karena terputus tadi. Mereka bahkan memulai kembali dari awal yang terkadang bisa juga mencapai hasil sebagaimana yang dicapai oleh para pendahulunya, namun terkadang juga kurang darinya atau bisa juga lebih banyak. Yang penting, umat tidak pernah sampai kepada tujuan akhir, karena pekerjaan individual itu sangat terbatas bila dibanding dengan usia kebangkitan dan umur umat. Kalau ada pikiran bahwa satu orang dapat mewujudkan seluruh keinginan umat, itu adalah khayalan dan tipuan emosi belaka. Setiap pekerja harus menurunkan kadar emosinya agar ia bisa mengambil manfaat dari apa yang dikerjakan pendahulunya.

Ini sekedar pemaparan realitas yang memang terjadi, Setelah itu, saya ingin mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin memiliki manhaj yang jelas, yang mereka berjalan di atasnya, yang menimbang diri mereka dengannya, dan mengetahui pula sekali-kali di mana posisi mereka di hadapan manhaj ini. Lalu tiba-tiba anda bertanya kepada mereka tentang dasar manhaj ini secara teoritis "apakah itu?"

Saya akan menjawabnya dengan jawaban terus-terang dan tuntas bahwa ia adalah kaidah-kaidah dan dasar yang didatangkan oleh Al-Qur'an Al-Karim. Jika anda bertanya tentang sarana dan khithah kerjanya, saya menjawab dengan terus-terang juga bahwa ia adalah sarana dan khithah warisan Rasulullah saw. Dan tidaklah baik akhir urusan umat ini, kecuali dengan kebaikan yang ada pada generasi awalnya.

Dengan uraian-uraian ini, usailah serial global mengenai Ikhwanul Muslimin yang dinamis. Saya berharap bahwa ia berpengaruh bagi para pembaca yang budiman, kemudian memberi dukungan kepada mereka yang siap mempersembahkan segalanya. di jalan Allah dan dakwah, serta bergabung dengan mereka untuk memberikan sahamnya lebih banyak dalam menghadapi kebangkitan yang wajar ini, yang pekerjanya setiap hari menuai kemenangan baru. Jika tidak mengantarkannya kepada kemerdekaan, paling tidak mengantarkannya kepada generasi berikutnya, berkat kegigihan perjuangannya, insya Allah.

"Dan katakanlah, Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan menilai pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
(At-Taubah: 105).