Friday 26 October 2018

TUJUAN IBADAH PUASA YANG SEBENARNYA

SETIAP PEKERJAAN MEMPUNYAI TUJUAN

Dalam setiap pekerjaan pada dasarnya ada dua faktor: yang pertama adalah tujuan pekerjaan itu sendiri dan yang kedua ialah bentuk khusus dari pekerjaan tersebut yang dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai contoh, marilah kita ambil contoh pekerjaan makan. Tujuan kita memakan makanan adalah untuk menjaga agar kita tetap hidup dan mempunyai tenaga untuk bekerja. Cara yang kita pilih untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengambil sepotong daging, memasukannya ke dalam mulut, mengunyah-ngunyahnya dan menelannya masuk ke dalam kerongkong kita. Cara ini kita lakukan karena ia adalah cara yang paling efektif dan tepat untuk mencapai tujuan kita. Tetapi kita tahu bahwa hal yang paling penting adalah tujuan untuk apa makanan itu dimakan, dan bukannya bentuk serta kaedah pekerjaan itu. Apa yang kita katakan apabila ada orang yang membuat daging tiruan dari serbuk gergaji atau abu atau tanah liat, lalu memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya dan menelannya? Kita tentu akan mengatakan bahwa orang itu sudah gila. Mengapa? Karena orang tolol ini tidak mengerti tujuan yang sebenarnya dari makan, dan mengira yang dinamakan makan hanyalah semata-mata mengambil sesuatu dengan tangan, memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya dan menelannya. 

Sama halnya, kita juga akan mengatakan pelik bila ada orang yang setelah menelan makanannya lalu memuntahkannya kembali dengan mengorek-ngorekkan jarinya ke dalam mulutnya, kemudian mengeluh bahwa ia tidak memperoleh manfaat dari makanannya itu, Tetapi sebaliknya setiap hari ia jadi semakin lama semakin kurus kering seperti orang kurang makan. Orang bodoh ini menyalahkan makanannya atas kesalahan yang diperbuatnya sendiri. Ia mengira bahwa tenaga hidup dapat diperoleh dengan hanya memenuhi persyaratan-persyaratan yang tercakup dalam perbuatan makan. 

Karenanya, ia berfikir, "mengapa saya harus menyimpan makanan dalam perut saya? Mengapa saya tidak memuntahkannya saja agar perut saya menjadi ringan? Saya kan sudah memenuhi persyaratan-persyaratan makan". Begitulah fikirnya. Tentu saja ia harus menderita sendiri akibat cara berfikir dan tindakannya yang tidak masuk akal itu. Dia mesti mengetahui bahwa sebelum makanan yang dimakannya tercerna dalam perut dan sarinya terserap dalam darahnya dan disampaikan ke seluruh bagian tubuh, maka tenaga hidup tidak akan boleh diperoleh. Walaupun pekerjaan-pekerjaan luar juga perlu, karena tanpa tindakan-tindakan tersebut makanan tidak akan bisa sampai ke dalam perut, namun tujuan makanan tidak dapat dicapai dengan hanya semata-mata melakukan pekerjaan-pekerjaan luar saja. Pekerjaan-pekerjaan luar itu tidak bisa menimbulkan keajaiban bahwa hanya dengan melaksanakannya saja maka darah akan langsung bisa mengalir cepat dalam pembuluh-pembuluhnya. Darah hanya dapat dihasilkan sesuai dengan hukum yang telah digariskan Allah. Apabila kita melanggar hukum tersebut, kita hanya akan membunuh diri kita saja.

AKIBAT MENGANGGAP FAKTOR-FAKTOR LUAR SEBAGAI HAKIKAT AMAL

Apabila kita renungkan contoh yang saya sebutkan di atas tadi, kita akan mengerti mengapa "ibadat" yang kita lakukan sekarang ini tidak mendatangkan hasil apa-apa. Seperti telah berulang-ulang saya tunjukkan, kesalahan yang terbesar dalam mengerjakan "ibadat" adalah menganggap tindakan solat dan puasa dalam bentuk luarnya sebagai "ibadat" yang sebenarnya, hingga kita terkena ilusi bahwa siapa saja yang memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut berarti telah melaksanakan ibadat kepada Allah. Kita sama seperti orang yang mengira bahwa pelaksanaan keempat perbuatan, yakni membuat makanan, memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya dan menelannya adalah yang dinamakan proses makan, dan siapa saja yang mengerjakan keempat perbuatan ini berarti telah memakan makanan dan karenanya berhak memperoleh manfaat dari makan, tidak peduli apakah yang dimasaknya itu beras atau tanah, atau apakah ia memuntahkan kembali makanannya itu atau tidak.

Kalau kita mempunyai fikiran sedikit saja maka katakanlah bagaimana bisa terjadi bahwa seseorang yang berpuasa, yang sedang melaksanakan "ibadat" kepada Allah dari pagi sampai petang, ditengah-tengah 'ibadatnya itu ia berbuat dusta dan membicarakan kejelekan orang lain? Mengapa ia bertengkar karena soal kecil saja dan mengeluarkan kata-kata yang kotor dari mulutnya? Bagaimana ia berani merampas hak orang lain? Bagaimana ia bisa bertindak mencari uang dengan haram dan memberikan uang kepada orang lain secara haram pula? Dan setelah melakukan semua itu, ia masih mengira bahwa ia telah melakukan "ibadat" kepada Allah? Tidakkah ini sama dengan orang yang memakan tanah liat atau abu dan mengira bahwa hanya dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan luar saja berarti ia sudah makan?

BEBAS KEMBALI DARI IKATAN-IKATAN SETELAH RAMADHAN

Selanjutnya katakanlah kepada saya, bagaimana bisa terjadi bahwa setelah kita dibebaskan dari "ibadat" kepada Allah selama bulan Ramadhan, semua pengaruh dari latihan kesalehan ini hilang begitu saja apabila bulan Ramadhan selesai? Setelah Hari Raya Aidil Fitri tiba, kita melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Hindu dalam perayaan-perayaan mereka. Demikian pula di kota-kota besar, pelacuran, minuman keras dan judi dinikmati pada Hari 
Raya. Saya bahkan pernah melihat beberapa orang berbudi rendah yang berpuasa di siang hari tetapi minum arak dan melacur dimalam hari. Syukurlah, bahwa orang-orang Islam pada umumnya tidak seburuk ini keadaannya. Tetapi setelah bulan Ramadhan berakhir, berapa banyak diantara kita yang tetap memelihra kesan kesalehan dan kebajikan bulan puasa pada hari kedua ‘Aidil Fitri? Hukum Tuhan yang mana yang tidak dilanggar? Berapa bagian dari waktu kita yang kita pergunakan untuk kebaikan, dan sejauh mana egoisme kita berkurang?

AKIBAT KONSEP YANG KELIRU TENTANG "IBADAT"

Fikir dan renungkanlah kenapa semua itu bisa terjadi? Saya yakinkan kita bahwa satu-satunya sebab dari semua itu adalah karena makna ibadat telah berubah dalam fikiran kita. Karena kita mengira bahwa ibadat itu hanya menahan makan dan minum di siang hari selama bulan puasa, maka kita mentaati peraturan puasa itu dengan sangat cermat. Kita takut kepada Allah sehingga kita menghindari setiap hal yang bisa membatalkan puasa, bahkan kita berani mempertaruhkan nyawa demi. puasa kita. Tetapi kita tidak tahu bahwa dengan hanya semata-mata menahan lapar dan minum bukanlah "ibadat" yang sebenarnya, melainkan hanya salah satu bentuk daripadanya saja. Dan tujuan
ditetapkannya bentuk ibadat seperti ini adalah untuk menumbuhkan dalam diri kita rasa takut dan cinta kepada Allah, dan dengan itu mengembangkan dalam diri kita kekuatan yang besar, sehingga dengan menekan hawa nafsu kita, kita akan mampu menghindari hal-hal yang nampaknya menguntungkan tetapi yang sebenarnya tidak diridhai Allah.

Dilain pihak, dengan menguasai diri kita, kita akan mampu membuatkan diri kita menyenangi hal-hal yang mungkin membawa resiko dan kerugian tetapi jelas mendatangkan keridhaan Allah. Kekuatan ini hanya bisa dikembangkan kalau kita mengerti tujuan puasa, dan menggunakan latihan yang kita jalani dalam berpuasa itu untuk mengendalikan dorongan-dorongan jasadi karena takut dan cinta kepada Allah, dan membuatkan dorongan-dorongan tersebut bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah. Tetapi dalam perlaksanaannya, begitu bulan Ramadhan berlalu, kita buang semua hasil-hasil latihan kita itu, seperti orang yang setelah makan lalu memuntahkan makanannya dengan mengorek-ngorekkan jarinya ke dalam mulutnya.

Bahkan dalam kenyataannya, sebagian di antara kita memuntahkan kebajikan-kebajikan yang kita peroleh pada siang hari begitu malam tiba. Nah, kita fikirkanlah sendiri, apakah puasa dan bulan Ramadhan itu bisa mendatangkan keajaiban, sehingga hanya dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan luaran saja, kita dapat memperoleh kekuatan yang hanya bisa diperoleh dengan jalan berpuasa menurut cara yang ditetapkan? Sebagaimana halnya energi fisik hanya bisa diperoleh dari makanan setelah makanan tercerna dalam perut dan dibawa oleh darah kepada seluruh urat-urat tubuh; maka demikian pula kekuatan rohani hanya bisa diperoleh dari puasa bila orang yang berpuasa itu mengerti tujuan puasa, dan meresapkan pengartian itu ke dalam hati dan fikirannya, dan membiarkannya menguasai fikiran, motif, niat, dan perbuatannya.

PUASA SARANA UNTUK MENUJU TAQWA

Karena itulah, setelah memerintahkan puasa, Allah mengatakan:

...Ia'allakum tattaqun.
"...agar kamu bertaqwa". (Al-Qur'an, al-Baqarah, 2:183)

Artinya, puasa diwajibkan kepada kita, dengan harapan mudah-mudahan kita bisa menjadi orang yang saleh dan bertaqwa. Di sini tidak dikatakan bahwa dengan berpuasa kita pasti menjadi orang yang saleh dan bertaqwa, karena hasil puasa itu sendiri tergantung pada pengartian dan niat orang yang bersangkutan. Barangsiapa yang memahami tujuan itu, dan dengan pemahaman tersebut coba mencapai tujuan puasa, akan menjadi orang yang saleh dan taqwa. Tetapi, orang yang tidak memahami tujuan puasa itu dan tidak coba untuk mencapainya, jangan diharap akan bisa memperoleh sesuatu dari puasanya.

TUJUAN-TUJUAN PUASA YANG SEBENARNYA

1. Mencegah diri dari dusta

Rasulullah saw dengan berbagai cara telah menunjukkan tujuan puasa yang sebenamya, dan menerangkan bahwa dengan melaparkan dan menghauskan diri tanpa mengingati tujuan puasa yang sebenarnya, adalah tidak ada gunanya. Beliau mengatakan:

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji (dusta) dan melakukan kejahatan (kepalsuan), Allah tidak akan menerima puasanya, sekalipun ia telah meninggalkan makan dan minum". (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah r.a.).

Dalam hadis yang lain:

"Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperolehi apa- apa selain lapar dan haus, dan banyak orang yang bangun di malam hari tetapi tidak memperolehi apa-apa selain berjaga malam saja".

Maksud dari kedua hadis ini sangat jelas, yakni bahwa semata-mata melaparkan dan menghauskan diri bukanlah ibadat, Tetapi hanyalah suatu alat untuk melaksanakan ibadat yang sebenarnya. Dan ibadat yang sebenarnya adalah mentaati hukum dan aturan Allah karena takut kepadaNya, dan mengerjakan hal-hal yang mendatangkan redhaNya karena cinta kepadaNya. Dan akhirnya mengawal hawa nafsu agar sebaik mungkin tersalur menurut aturan-aturan yang telah digariskan Allah. Orang yang tidak sadar akan ibadat yang sebenarnya ini, akan sia-sialah perbuatan melaparkan dan menghauskan dirinya itu. Allah tidak memerlukan amalnya yang demikian itu.

2. Iman dan penilaian diri

Rasulullah telah menyuruh kita memerhatikan tujuan puasa yang sebenarnya, dengan sabdanya :

"Barangsiapa menjalankan puasa dengan penuh iman dan mengharapkan akan keridhaan Allah, maka akan diampuni semua dosanya yang telah lalu".

Iman berarti kepercayaan kepada Allah, dan harus selalu ada dalam hati dan fikiran seorang Muslim. Ihtisab berarti seorang Muslim, yang hanya mengharapkan redha Allah semata dan terus-menerus mengawal agar fikiran dan tindakannya tidak bertentangan dengan redha Allah. Apabila seseorang menjalankan puasa Ramadhan sesuai dengan kedua prinsip ini, maka seluruh dosanya yang telah lalu akan diampuni. Karena, apabila dahulu ia adalah seorang manusia yang memberontak dan tidak patuh kepada Allah, maka sekarang ia telah bertaobat kepada TuhanNya, dan "Orang yang bertaobat adalah seperti orang yang belum pernah berbuat dosa sama sekali".

3. Perisai dari dosa.

Dalam sebuah hadis dikatakan :

"Puasa adalah bagaikan perisai (yakni perisai yang melindungi diri dari serangan syaitan). Karena itu orang yang berpuasa hendaklah (menggunakan perisainya dan) mencegah diri dari hal-hal yang tidak patut. Apabila ada seorang mengejek atau mengajak bertengkar dengannya, hendaklah ia berkata: Aku sedang berpuasa (dan jangan libatkan aku dalam perbuatanmu)".

4. Rangsangan untuk berbuat kebaikan

Dalam hadis-hadis yang lain Rasulullah telah memberi petunjuk bahwa orang yang sedang berpuasa hendaklah banyak-banyak mengerjakan kebaikan. Khususnya, selama ia berpuasa hendaklah ia mengembangkan dalam dirinya rasa simpati terhadap saudara-saudaranya sesama Muslim, karena dengan merasakan sendiri lapar dan haus, ia dapat ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudaranya yang miskin dan sengsara. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah biasanya sangat baik hati selama bulan Ramadhan. Tidak seorang pengemis pun yang kembali dari pintu rumahnya dengan tangan hampa, dan budak-budak memperoleh kemerdekaan mereka dari beliau.

5. Pahala memberi makanan untuk berbuka

Menurut sebuah hadis Rasulullah saw mengatakan :

"Barangsiapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka hal itu akan menjadi ampunan dan keselamatan baginya dari api neraka, dan dia akan memperoleh pahala sebanyak pahala orang yang berpuasa itu tanpa dikurangi sedikitpun".

No comments:

Post a Comment